Genealogi Hujan

Desember 28, 2010, oleh: Admin HI

Kerinduan akan turunnya hujan setelah sekian lama tanah mengering akibat kemarau berubah menjadi semacam kutuk semesta. Hujan yang kita harapkan menyemai tanah dan memberi kesuburan telah melungsurkan bumi, menjelma menjadi banjir di berbagai kota. Hujan salah mongso—kata orang jawa—kerap terjadi karena perubahan iklim dunia tekah mengubah jadwal kedatangannya.
Hujan lebat—yang kemudian melahirkan longsor dan sungai meluap seperti yang kini berlangsung diberbagai kota—nyatanya menjadi amanita hati nurani yang segera memberi kesadaran ekologis bagi para penguasa dan perancang pembangunan. Karena hujan, seorang bupati, gubernur, ketua partai, anggota parlemen, menteri, bahkan presiden rela tergopoh-gopoh menyambangi publik. Mereka rela berbasah-basah bersama para korban. Bila perlu karena hujan, para anggota parlemen bisa sedikit punya suara. Hujan juga secara kreatif telah dijadikan ruang mobilisasi oleh mereka yang ingin menjadi tokoh politik.
Setelah hujan melahirkan longsor, pemerintah daerah tidak perlu membuat proposal untuk meminta pembangunan jalan dan irigasi. Hujan lebih dahsyat dari proposal! Begitulah Bengawan Solo akan dibenahi setelah meluap. Hutan-hutan di Karanganyar akan lebih ditata setelah longsor dan korban jiwa melayang. ( Hey…,tidak perlu wakil rakyat untuk meminta dana pembanguna ke pusat, cukup memberdayakan pawang hujan). Maka siapa bilang hujan tidak punya berhubungan dengan persoalan legitimasi ?
Pesan politik lain dari hujan adalah dalam kaitannya dengan ideologi ‘pembangunanisme’ yang kini gencar dilakukan. Satu hal yang pantas dicatat, betapa mahal ongkos ekologis yang harus dibayar oleh derap pembangunan yang kini dilakukan. Karena menempatkan alam dalam kategori ekonomi, maka alam boleh dieksploitasi untuk kemudian dijual. Alam ditundukkan, dipabrikasi, serta dikapling hanya untuk melayani hasrat dan kebutuhan jangka pendek manusia. Developmentalisme hanya mengembangkan prinsip ekologi dangkal (shallow ecology). Bagi kalangan ini, manusia adalah majikan alam semesta. Pandangan ini sangat meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan rasio adalah segalanya. Manusia adalah sang kreator sejarah.
Dominasi dari pemikiran shallow ecology tampaknya juga berlangsung pada level global. Keputusan yang mengemukan dari Conference of Parties (CoP) ke-13 dalam rangka Konferensi Perubahan Iklim di PBB di Bali pada akhir 2007 silam sesungguhnya merupakan kemenangan kalangan shallow ecology atas kalangan deep ecology yang memiliki perspektif lain tentang hubungan manusia dengan alam.
Kesepakatan tentang jual beli karbon, misalnya, menjadi potret nyata dari arus pemikiran shallow ecology ini. Negara-negara maju yang memiliki cukup modal sebagai hasil dari proses industri mereka, dengan mudah dapat mengompensasi “dosa-dosa ekologis” mereka dengan membeli sertifikat penurunan karbon. Sertifikat tersebut telah dijadikan lembar pengampunan dosa dari negara-negara industri maju.
Negara-negara maju yang juga negara-negara industri kemudian siap menggelontarkan bantuan atau kredit kepada negara berkembang yang memiliki berbagai proyek untuk mengurangi pemanasan global (global warming). Seolah-olah dilangit dan atmosfer sana terdapat marka pembatas antar negara yang bisa membatasi perubahan iklim untuk tidak menyeberang ke negara lain.
Kalangan deep ecology menawarkan cara pandang yang lebih mendalam, yang intinya ingin mengajak manusia untuk mengembangkan sensibilitas ekologis. Harmoni dengan alam dan menempatkan alam bukan semata sebagai factor produksi, adalah cara pandang kalangan ini. Benar bahwa pembangunan harus mengembangkan modal, tetapi bukan dengan cara mem-babi buta mengeksploitasi alam.
Developmentalisme lah yang membuat standar-standar baru atas berbagai aspek kehidupan mencapai titik puncak, dimana manusia tak lagi bisa memisahkan apa yang dibutuhkan dan apa yang menjadi hasrat dan keinginan.
Standar-standar dan gaya hidup baru makin memuncak dalam gejala konsumerisme. Fase manusia antroposentris telah berubah dari “aku berpikir maka aku ada” menjadi “aku belanja maka aku ada”. Gaya hidup itulah—dan bukan kehidupan itu sendiri—yang kemudian harus dilayani alam dan seisinya untuk sekedar memanuhi selera instant manusia. Ironisnya, kekayaan alam yang besar terkadang hanya untuk memenuhi gaya hidup segelintir kelas yang berpunya.
Medium tegur sapa
Karenanya, muncul pemimpin lokal yang memiliki perspektif tentang lingkungan akan sangat dibutuhkan dimasa yang akan dating. Jika suatu daerah masih dihuni oleh sebagian besar penduduk yang miskin, mengapa harus memaksakan diri membangun mal dan apartemen mewah? Jika pantai-pantai yang terbuka menjadi ruang publik yang murah bagi masyarakat untuk menikmati hidup, mengapa harus tergoda jejaring korporasi yang ingin menjadikan pantai dan laut sebagain pelayan para tuan besar yang datang dari dunia yang jauh? Gagasan Sultan HB X untuk menjadikan Pantai Parangtritis dan sekitarnya sebagai pantai publik dan wahana pendidikan—seperti kerap ia sampaikan—adalah sikap pemimpin yang memiliki sensibilitas ekologis ini.
Hujan dan tanah longsor telah mengabarkan sebuah pesan etis kepada kita semua untuk selalu mengembangkan harmoni dengan lingkungan. Bencana alam juga telah mengabarkan sebuah pesan politis bagi para pengambil keputusan tentang perlunya melihat dimensi ekologis sebagai sebuah variabel yang akan mempengaruhi keberlanjutan kehidupan.
Saatnya para pemimpin mengembangkan sebuah sensibilitas ekologis, dengan cara mendengarkan sebanyak mungkin masukan dan kritik yang disampaikan berbagai kalangan, seperti aktivis dan masyarakat. Mungkin ada baiknya kita kutip kata-kata Ghandi yang begitu masyhur: “Dunia selalu menyediakan dengan cukup berbagai kebutuhan manusia, tetapi dunia tak akan pernah bisa mencuckupi keserakahan manusia…”
Hujan adalah pesan langit untuk berbagai pencapaian modernitas kita hari ini. Sekurang-kurangnya, hujan telah mendorong hasrat filantropis kita setelah sekian lama abai terhadap orang lain dan mereka yang tunakuasa. Hujan adalah medium tegur sapa, baik secara social maupun budaya. Haruskah menunggu hujan dan banjir untuk melihat solidaritas tetap ada? Rasanya tidak!

oleh Ade M Wirasenjaya
Dosen Politik Lingkungan Global pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY
Tulisan ini telah dimuat pada Diplomacy Magazine #1 KOMAHI UMY , 2009