Konflik Etnis dalam Masa Transisi Demokrasi di Irak

Desember 28, 2010, oleh: Admin HI

Masa transisi dari kehidupan politik yang totaliter menuju demokrasi di beberapa negara yang memiliki heterogenitas etnis seperti di Irak hampir selalu diwarnai oleh konflik etnis dengan tingkat eskalasi yang semakin tinggi. Pada masa pemerintahan Saddam Hussein, konflik lebih banyak bersifat vertical antara rakyat dengan pemerintah. Konflik terjadi antara kelompok syiah melawan pemerintah sunni dan suku kurdi melawan pemerintah di Irak utara.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada masa transisi dimana konflik horisontal semakin intens terjadi antara kelompok Sunni melawan Syiah, Syiah Radikal yang di pimpin oleh Muqtada Al Sadr melawan Kelompok Syiah yang dikendalikan oleh Amerika Serikat, dan konflik perebutan sumber daya alam antara orang-orang Turki, Turkmenistan dan Arab di Kirkuk.
Pertanyaan yang kemudian dapat kita ajukan adalah, mengapa konflik horizontal yang melibatkan identitas etnis seringkali muncul dalam masa transisi demokrasi seperti di Irak ?
Pandangan Terhadap Etnis Dalam Konflik
Konflik di Irak memiliki keunikan tersendiri. Konflik yang terjadi merupakan kompleksitas antara faktor-faktor internal di Irak dan juga intervensi dunia internasional. Secara internal, aktor-aktor yang terlibat mewakili identitas kelompok baik suku, politik, daerah, maupun aliran agama. Sementara itu, pengaruh dunia internasional bersumber dari Amerika Serikat beserta sekutunya.
Memahami konflik di Irak tidak bisa lepas dari kuatnya fragmentasi masyarakat baik secara kesukuan, ideologi, maupun aliran keagamaan. Irak terpecah atas suku-suku kurdi, arab, dan turkmen; antara syiah dan sunni; dan juga antar berbagai ideologi sosialis, islam, pan arabisme, dan pan Islamisme. Berdasar pada fragmentasi masyarakat seperti itulah, maka memahami konflik Irak tidak bisa lepas dari kerangka berfikir yang menggunakan teori-teori konflik makro terutama interaksi kelompok-kelompok.
El Fatih A. Abdel Salam memberikan batasan kelompok sebagai orang-orang yang telah menggolongkan diri mereka sebagai kelompok-kelompok yang berbeda dan mereka memandang satu sama lain sebagai luar kelompok atau musuh. Penggolongan individu kedalam kelompok itu bisa didasari oleh identitas-identitas agama, etnis, ras, kepentingan politik dan sebagainya. Kelompok-kelompok akan terlibat dalam konflik apabila diantara mereka terjadi persaingan dan perebutan kekuasaan serta sumber-sumber daya.
Munculnya pengelompokan dalam masyarakat tidak lepas dari kebutuhan psikologis manusia untuk membangun sekutu dan musuh. Identitas kelompok bisa diperoleh manusia baik sebagai faktor yang melekat seperti suku atau ras, atau bisa juga lewat proses pergaulan dalam masyarakat seperti kelompok pekerja, tani, konglomerat dan sebagainya. Ketika identitas kelompok telah dimiliki, maka muncullah dikotomi antara yang baik dan buruk. Hal-hal yang baik selalu kita lekatkan pada kelompok kita (ingroup) dan yang buruk adalah milik di luar kelompok kita. Akibat dari dikotomi itu maka muncullah rasa kita dan mereka.
Peran etnis dalam konflik telah menjadi perdebatan dikalangan ahli studi konflik. Ada tiga pandangan mengenai peran suku : pertama, pandangan objektivis, struktur ekonomi (dan politik) obyektif langsung menyebabkan konflik. Kedua, pandangan primordial, struktur sejarah obyektif dan relatif stabil dari produksi melahirkan budaya yang langsung menyebabkan konflik atau yang memiliki elemen-elemen yang tidak cocok dengan struktur modern ekonomi politik global. Ketiga, pandangan instrumentalis, struktur yang menyebabkan konflik dihasilkan oleh tindakan dan politik, bukan oleh struktur objektif. (Kivimäki dalam Dewi Fortuna Anwar, edt. , 2005 : 125).
Saya lebih setuju dengan pandangan instrumentalis dimana suku merupakan elemen penting dalam konflik tetapi bukan yang utama. Para politisi mempergunakan selubung kepentingan suku untuk memobilisasi massa demi tercapainya kepentingan pribadi yang menjadi kepentingan utama. Tidak jarang mobilisasi dengan selubung kesukuan ini berakibat pada perbenturan diantara suku yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan obyektif.
Collier dan Hoeffler lebih menegaskan lagi bahwa situasi yang paling mudah memicu konflik adalah saat dua kelompok suku utama bersaing untuk memperoleh kekuasaan. (Collier&Hoeffler dalm Kivimäki dalam Dewi Fortuna Anwar, edt. , 2005 : 125). Dalam situasi dimana hanya ada dua suku dominan, mencederai suku yang lain memang kadang-kadang menghasilkan perubahan politik yang diinginkan, dan dominasi bagi suku yang mencetuskan kekerasan.
Upaya saling mencederai kelompok lain juga semakin terbuka ketika salah satu suku merasa telah merasakan pengorbanan atau ethnis victimization. Joseph V. Montville memberikan batasan konsep pengorbanan etnis sebagai keadaan ingatan etnis manakala keamanan kelompoknya dihancurkan oleh kekerasan dan agresi. (Abdel Salam, 2005 : 12). Menurut Volkan, pengorbanan etnis ini akan memunculkan ketidakmampuan berkabung (inability to mourn) yang bersifat uncomplicated atau complicated. Uncomplicated ketika suatu kelompok menerima kehilangan dan berupaya mengatasi rasa sedih. Namun sebaliknya, jika kelompok merasa tidak rela atas kehilangan atau pengorbanannya (complicated) maka kelompok tersebut akan berusaha merebutnya kembali. (Abdel Salam, 2005 : 14).
Konflik horizontal yang semakin intens terjadi di Irak hingga saat ini diwarnai oleh dua faktor penting. Pertama, ketidakbisaan kelompok Sunni terutama pendukung setia Saddam Hussein untuk menerima kenyataan bahwa sekarang mereka tidak lagi memiliki kekuasaan seperti halnya pada masa lalu. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya rekonsiliasi nasional dimana tidak ada pengampunan bagi Saddam dan juga para pengikut setianya.
Hukuman mati bagi Saddam telah berimplikasi pada semakin kerasnya aksi-aksi kelompok Sunni terhadap Syiah yang sekarang ini berkuasa. Kedua, campur tangan asing (dalam hal ini Amerika Serikat) dalam kehidupan politik dan keamanan Irak. Tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh AS terhadap pemerintah Irak telah mengobarkan kebencian orang-orang Syaih garis keras terhadap pemerintahan sekarang.
Demokratisasi dan Eskalasi Konflik Etnis
Demokrasi yang diyakini akan membawa suatu negara dalam kehidupan damai ternyata lain ceritanya di Irak. Harapan akan munculnya Irak yang damai pasca tumbangnya Saddam seolah-olah semakin menjauh seiring dengan semakin meningkatnya intensitas kekerasan yang terjadi. Apa yang salah dengan demokrasi yang dibangun di Irak ?
Bangunan demokrasi di Irak menjadi sangat rapuh apabila kita melihat belum berkembangnya nilai-nilai politik liberal dan pluralisme dalam kehidupan sosial elit dan rakyat Irak. Kuatnya ikatan sektarian menyebabkan kompetisi di tingkat elit menjalar pada konflik antar kelompok masyarakat.
Membangun demokrasi tidak hanya sekedar menghadirkan sistem pemerintahan perwakilan dan persaingan bebas dalam kehidupan politik. Lebih dari itu, bangunan demokrasi akan semakin kokoh dengan pondasi nilai-nilai dan norma politik liberal dan pluralism dalam kehidupan sosial. Menurut Ronald Inglehart (Basham, 2004:4) demokratisasi akan mengalami kegagalan ketika budaya politik di tingkat elit dan rakyat tidak memihak kepada demokrasi. Oleh karena itu, perlu adanya “building block of modern democracy” yang terdiri atas empat faktor budaya yaitu political trust, toleransi sosial dimana ada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak minoritas, adanya pengakuan yang luas tentang pentingnya kebebasan asasi dalam hal politik seperti kebebasan berbicara dan berpartisipasi dalam penyususnan kebijakan publik, dan adanya pengakuan terhadap kesetaraan gender. ***
oleh Sugito, S.IP., M.Si.
Dosen Pengampu Mata Kuliah Organisasi dan Administrasi Internasional dan Resolusi Konflik
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY
Sumber: Diplomacy Magz KOMAHI UMY 1st Edition, 2009