Dua Faktor Sebabkan Amerika Serikat Mengalami Government Shutdown

Oktober 14, 2013, oleh: Admin HI

Diawali dengan deadlock proposal Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan oleh 2 partai penguasa Kongres, yakni partai Demokrat dan partai Republik, Amerika Serikat tengah dihadapkan pada krisis politik yang berujung pada macetnya arus pelayanan administrasi publik (government shutdown).
Peristiwa yang terkahir kali terjadi 17 tahun silam saat presiden Bill Clinton berkuasa ini tak pelak menimbulkan kepanikan di kalangan berbagai pihak. Protes nyaring berasal dari ratusan ribu Pegawai Negeri Sosial (PNS) yang terpaksa harus menganggur karena kantor-kantor pemerintahan ditutup. Kemudian, publik pun ikut mendapat getahnya. Selama government shutdown berlangsung, akses layanan adminitrasi lumpuh total, sehingga beberapa aktivitas mereka yang membutuhkan kelengkapan administrasi menjadi terhambat.
Pakar Politik Pemerintahan Amerika Serikat, Muhammad Faris Al-Fadhat, S.IP, MA, merunutkan kronologi terjadinya deadlock dari perspektif perbedaan ideologi yang dianut oleh masing-masing partai besar di Amerika, hingga dari kuatnya pengaruh lobi pihak swasta di Amerika.
Pertikaian Ideologi Antara 2 Partai Besar
Melihat dari asal kepulan asapnya, yaitu adanya perbedaan pendapat antara Demokrat dan Republik, maka sejatinya bisa kita runut sumber api dari pertikaian tersebut. Partai Demokrat yang mengusung Barack Hussein Obama untuk maju di Pilihan Presiden (Pilpres) tahun 2012 lalu, terkenal dengan ideologi liberal progresif-nya.
Dalam spektrum ideologi, liberal progresif ini berada di tengah kekiri-kirian, mendekati sosialisme. Keberpihakan terhadap ideologi ini terlihat dari upaya-upaya Obama yang berusaha mendekatkan diri pada publik saat masa kempanye dulu. Obama berhasil mencuri simpati publik dengan visi misinya yang pro rakyat miskin.
Program “Obama Care” adalah agenda konkritnya. Obama berjanji bahwa negara akan membantu sepenuhnya bagi mereka yang kesulitan mendapatkan jaminan layanan kesehatan yang baik, karena selama ini hanya masyarakat atas saja yang bisa menikmatinya. Dana yang digunakan untuk menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin nantinya akan diambil melalui peningkatan pajak yang akan diberlakukan ke masyarakat kelas atas dan perusahaan-perusahaan.
Sementara, partai Republik tetap memegang teguh ideologi liberal konservatif. Partai Republik menginginkan negara tidak usah mengurusi hal-hal seperti itu. Persis dengan konsep Liberalisme. Partai Republik dipenuhi oleh sekelompok orang-orang yang berkeyakinan bahwa di negara Liberal, negara tidak mempunyai kontrol penuh dalam memberlakukan kebijakan seperti itu. Seseorang berhak bekerja untuk memperkaya serta menghidupi dirinya sendiri, bukan orang lain.
Kuatnya Lobi Swasta, Pengaruhi Kebijakan Pemerintah
Niat Obama yang hendak mematok pajak yang relatif tinggi terhadap pihak swasta di AS guna membiayai asuransi kesehatan rakyat miskin, tentu saja mendapat respon negatif dari para pelaku usaha swasta. Rencana kebijakan Obama telah menabrak prinsip kapitalisme yang selama ini menjadi panutan rakyat Amerika. Utamanya, mereka yang bergerak di bidang pelayanan asuransi kesehatan. Prinsip kapitalisme seolah sudah paten untuk dijadikan rujukan solusi.
Sehingga, mereka cukup paham apa imbas jika negara terlalu sibuk memperdulikan masalah-masalah sosial yang seharusnya menjadi ladang mereka meraup keuntungan. Logikanya, ketika customer-customernya (pelanggan-red) ditangani negara, pastilah pundi-pundi dolar akan masuk kedalam kantong negara.
Maka dari itu, ketika mendengar rancangan strategi kebijakan Obama, mereka berupaya untuk mempersempit kemungkinan penerapan kebijakan tersebut. Kuatnya lobi perusahaan-perusahaan swasta penyedia layanan kesehatan ditengarai menjadi faktor lain yang menyebabkan pembahasan mengenai RAPBN di Gedung Putih mengalami jalan buntu.
Penyelesaian dari pertikaian ini berada di tangan Obama. Bergantung dari seberapa gencarnya ia melobi ulang partai Republik, atau dengan jalan memangkas anggaran layanan kesehatan tersebut. Jika tetap angkuh mempertahankan argumen, Obama akan dihadapkan ke keadaan politik dalam negeri yang semakin runyam, yang pastinya akan mengganggu konsentrasi Amerika Serikat dalam urusan luar negerinya. (diah)