Menelisik Kedaulatan Taiwan

Maret 14, 2013, oleh: Admin HI

Sebagai suatu titik di Asia Timur, eksistensi Taiwan dengan nama resmi Republic of China selalu dipertanyakan. Apakah Taiwan adalah salah satu negara di Asia Timur? Jika benar, mengapa ia  tidak ada dalam daftar keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)? Jika tidak, mengapa ia dikategorikan sebagai salah satu macan Asia dan juga tergabung dalam WTO, the World Trade Organization?
Dilihat dari syarat umum adanya suatu negara, tampaknya Taiwan telah memenuhi 3 (tiga) unsur dasar untuk menjadi negara-bangsa, yakni ada wilayah, penduduk dan pemerintah. Namun, unsur tersebut belum cukup untuk mengatakan Taiwan sebagai “negara berdaulat”.
Unsur terpenting dalam politik internasional adalah pengakuan dari negara lain. Pengakuan negara lain inilah yang menentukan eksistensinya, bukan sekedar de facto ataupun proses politik internalnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukanlah negara yang mempunyai wewenang memberikan pengakuan atas keberadaan suatu negara ataupun pemerintahan baru. Akan tetapi, Resolusi A/RES/2758 sebagai hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB 25 Oktober 1971 yang sepakat memberikan kursi keanggotaan kepada perwakilan dari RRC menandai hilangnya Republik China di panggung internasional. Sejumlah catatan pun diberikan seperti di bawah ini.
Wilayah
Taiwan terletak di tepi Samudera Pasifik, meliputi Pulau Taiwan/Formosa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Kepulauan Penghu di Selat Taiwan, serta Kinmen dan Kepulauan Matsu di seberang pantai Fujian, China Daratan. Akan tetapi, wilayah tersebut secara konstitusional berada di bawah otoritas Pemerintah Republik Rakyat China sebagai provinsi.
Penduduk
Dilihat dari penduduknya, Taiwan memiliki populasi penduduk sekitar 23.000.000 jiwa, yang terdiri dari berbagai etnis. Etnis tersebut terdiri dari 98 % Han (kemudian terbagi lagi atas 70% Hoklo, 14% Hakka, 14% Cina Daratan), dan 2% penduduk asli Taiwan atau kelahiran Taiwan. Dilihat dari budaya Taiwan juga mempunyai budaya tersendiri, walaupun budaya tersebut banyak di pengaruhi oleh budaya Tiongkok.
Pemerintahan
Dalam konteks Republik China, partai-partai politik berkembang di Taiwan, pemilihan umum berlangsung secara teratur, organ-organ trias politica (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) terstuktur. Saat ini Ma Ying-jeou dari partai Kuomintang menduduki jabatan kepala eksekutif. Bahkan, Taiwan memiliki Angkatan Bersenjata yang lengkap; satu-satunya lembaga pemilik otoritas penggunaan kekerasan dalam sistem negara bangsa modern.
Bukankah Taiwan mempunyai Kantor Perwakilan Dagang  di berbagai negara di dunia dan mendapat pengakuan dari sejumlah negara di Pasifik dan Afrika?
Adanya Perwakilan Dagang tidak mensyaratkan hubungan diplomatik penuh. Sementara itu pengakuan negara lain dari sekitar 20 negara Pasifik dan Afrika terhadap Republic of China bersifat minoritas dalam konteks global. Padahal, voted into the club ditentukan oleh seberapa banyak pengakuan itu diberikan oleh negara-negara lain, khususnya negara-negara utama dalam hubungan internasional. Bandingkan dengan keadaan sebelum 1979, yakni tahun penutupan kedutaan besar Republic of China di  AS dan berbagai negara lain.
Apakah eksistensi ekonomi Taiwan dan keanggotaannya di WTO tidak bermakna?
WTO adalah institusi kelanjutan dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Dalam era GATT, sebuah “satuan perekonomian” yang tidak independen bisa menjadi partisipan, asalkan mendapat dukungan/diusulkan  oleh pemegang kedaulatannya yang telah lebih dulu tergabung dalam institusi tersebut.  Indonesia menjadi salah satu partisipan paling awal dari GATT karena disponsori oleh Belanda. Hongkong, sebelum dikembalikan ke RRC,  mendapat posisi sebagai partisipan karena disponsori oleh Inggris. Dalam era WTO, prinsip ini pun  masih diperhatikan. Taiwan baru mendapatkan keanggotaan pasca RRC resmi menyelesaikan aksesinya.
Pandangan mengenai syarat eksistensi negara telah berkembang. Ketiga unsur de facto negara tersebut dilengkapi dengan adanya aktivitas ekonomi & perekonomian yang terorganisir, termasuk dalam hal ini mengeluarkan mata uang, adanya kekuatan menjalankan rekayasa sosial, adanya sistem transportasi, adanya kedaulatan, dan adanya pengakuan dari negara lain.
Tak pelak, Taiwan hampir mempunyai semua itu. Tetapi jika kedaulatan bermakna sebagai tidak adanya negara lain yang berkuasa atasnya, maka dengan sendirinya eksistensi wilayah Taiwan pun bermasalah karena RRC menyatakannya hanya sebagai salah satu provinsinya. Hal ini melengkapi fakta bahwa Taiwan menjadi fenomena “negara dalam negara” namun tidak dapat dianggap sebagai negara berdaulat.
Apakah doktrin One China Principal memberikan pengaruh Taiwan?

Adanya prinsip satu China, membuat posisi Taiwan di mata internasional tersisih dan negara-negara lain melaksanakan One China Policy. Usaha China dalam mengkampanyekan One China Principal  telah berlangsung melalui diplomasi panjang, baik secara bilateral maupun multilateral sejak deklarasi RRC 1949. Perseteruan utama antara pemerintahan di Beijing dan Taipei adalah keduanya menyepakati adanya satu China namun berbeda dalam mengakui pemilik legitimasi pemerintahannya.
Resolusi nomor A/RES/2758 adalah kemenangan diplomasi RRC, khususnya dalam memenangkan dukungan negara-negara berkembang yang merupakan mayoritas dalam Majelis Umum PBB. Dalam era kebangkitan ekonomi China dewasa ini, China telah membanjiri negara lain dengan komoditas murah. Samuel Huntington dalam Clash of Civilizations mengatakan bahwa China adalah negara dengan kekuatan ekonomi yang dapat membelenggu dunia.
Mestinya kita lihat ini tidak dengan kacamata teori China’s Threat semata. Tetapi juga dengan fakta bahwa China telah aktif dalam aktivitas investasi di negara lain dan berkontribusi positif melalui bantuan asing dalam berbagai kesempatan. Dengan demikian, hal ini menjadi soft power yang mengikat negara lain untuk mempertahankan One China Policy mereka.
Mengapa terjadi pertentangan Kubu Hijau dan Kubu Biru di internal Taiwan?
Dalam internal Taiwan sendiri terdapat dua koalisi besar yang bertentangan, yakni Pan Biru yang dimotori Partai Kuomintang dan Pan Hijau dengan partai Utama DPP. Pan Biru berorientasi pada upaya memperoleh kembali legitimasi dalam One China Principal karena Kuomintang adalah cikal bakal China bersatu yang merdeka pasca kolonialisme Barat mengakhiri siklus dinasti China Kuno. Sebaliknya, Pan Hijau menginginkan Taiwan merdeka dan lepas dari China yang dianggap datang sebagai bangsa asing penjajah pada  masa Dinasti Qing.
Perbedaan visi kedua kubu tersebut tampak dalam kebijakan masing-masing pada masa pemerintahannya. Referendum pro kemerdekaan pada masa pemerintahan Pan Hijau yang singkat ternyata tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas pemilih. Saat ini kekuasaan di Taiwan justru sedang kembali dipegang oleh Kubu Biru. Artinya, perseteruan antara dua kubu ini mengakibatkan usaha untuk menjadikan Taiwan sebagai satu negara yang berdaulat, otomatis terhambat secara mendasar.
Dengan adanya klaim kemerdekaan oleh suatu kubu, apakah kubu yang ingin Taiwan merdeka bisa disebut kelompok separatis (memisahkan diri) ? 
Dalam pandangan RRC,  kelompok hijau yang menginginkan kemerdekaan Taiwan tersebut bisa disebut sebagai kelompok separatis. Berkali-kali terjadi ancaman penggunaan hard power oleh pemerintah di Beijing terhadap provokasi pemisahan diri Taiwan. Meskipun tampak seperti gertak sambal, namun Taiwan tidak dapat menafikan hal itu. Yang menarik, pemerintah di Beijing menawarkan peningkatan kerjasama Lintas-Selat, termasuk kerjasama militer antara kedua pihak. Bagi pemerintahan Republik Rakyat China, prinsip  integritas teritorial adalah salah satu hal terpenting dan tidak terbantahkan. Oleh karena itu One China Principal dilembagakan dalam hubungannya dengan negara-negara lain dan dinamika hubungan lintas-Selat dijaga sebagai urusan internal.
Dapat disimpulkan, untuk mendapatkan kedaulatan, Taiwan memiiki pekerjaan besar yang harus di selesaikan yaitu dalam negeri dan luar negeri atau internal dan eksternal. Hal utama yang harus dilakukan oleh rakyat Taiwan jika ingin kedaulatan utuh sebagai negara berdaulat adalah memegang tampuk pemerintahan di Taipei. Dengan dipegangnya tampuk pemerintahan tersebut akan memudahkan kampanye kemerdekaan atau kedaulatan. Seiring dengan hal itu, diplomasi Lintas-Selat dan kampanye ke dunia internasional melalui sarana-sarana ekonomi dan diplomasi publiknya tidak dapat dihentikan. (*)
Grace Lestariana Wonoadi, S.IP, M.Si.*
Dosen Hubungan Internasional UMY, Pengamat Politik Asia Timur