Masalah Pemimpin Awali Perpecahan Sunni-Syi'ah

Maret 30, 2013, oleh: Admin HI

Konflik dalam dunia Islam antara Sunni dan Syi’ah berawal dari masalah muamalah, yakni penentuan pemimpin pada saat wafatnya Rasulullah. Dari pertentangan siapa yang memimpin pasca Rasul tersebut, melebar hingga ranah aqidah, seperti ideologi dan tanpa kompromi dengan keyakinan yang berbeda. Konflik dengan skala kecil dulunya akhirnya tambah melebar, sehingga menjadi konflik antar negara, seperti Arab Saudi dan Iran saat ini.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Pakar Resolusi Konflik dan Masalah Dunia Islam Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si., dalam acara Diskusi Buku “Ketegangan Hubungan Sunni- Syi’ah di Timur Tengah” yang ditulis oleh Ahmad Sahide, S.IP M.A. Kegiatan ini berlangsung di Ruang Simulasi Sidang Hubungan Internasional (HI) UMY, serta dimoderatori Muhammad Faris Al-Fadhat, S.IP, M.A., Sabtu (30/3).
Surwandono menjelaskan sebab-sebab orang Syi’ah berselisih dengan orang Sunni. Waktu pengurusan jenazah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar serta sahabat lainnya mengadakan rapat penentuan pemimpin selanjutnya. Sedangkan Ali dan keluarganya sedang mengurus pemakaman Rasulullah. Oleh sebab itulah kaum Syi’ah mengatakan Sunni tidak sopan dan mengambil jabatan kepemimpinan, dalam pendapat mereka yang seharusnya menjadi pemimpin adalah Ali bukan Abu Bakar. “Karena peristiwa pengurusan jenazah Rasul itulah kaum Syi’ah mengatakan Sunni tidak sopan, yang lain berduka dan mereka malah berebut kekuasaan”, jelas dosen HI UMY ini.
Selain itu, orang Syi’ah mempersalahkan Sunni disebabkan oleh tindakan Mu’awiyah. Yangmana Mu’awiyah dianggap merampas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, serta Mu’awiyah dituduh dalang dari pembunuhan Hasan, juga pembunuhan Husein di Karbala. “Syi’ah menganggap semua Sunni itu Mu’awiyah, sehingga Syi’ah mengutuk setiap orang Sunni. Padahal belum tentu orang Sunni terlibat dalam politik Mu’awiyah, selain itu belum tentu Mu’awiyah memiliki kesalahan fatal”, jelas Surwandono.
Dr. Surwandono mengatakan bahwa saat berdirinya dinasti Safawi, pernah orang Syi’ah meminta untuk bergabung dengan Sunni. Dengan syarat mazhab Syi’ah dijadikan mazhab ke lima dalam mazhab Sunni. Namun, usulan itu ditolak oleh ulama Sunni, disebabkan oleh ajaran dan keyakinan Syi’ah jauh melenceng dari ajaran Islam atau Al-qur’an dan Sunnah Nabi. ”Sebab ajaran Syi’ah yang melenceng maka para ulama Sunni bersepakat untuk menolak”, katanya.
Surwandono mengajak peserta diskusi untuk menjadi pihak yang memberikan resolusi, bukan memperkeruh ketegangan antara Sunni dan Syi’ah. Selayaknya kaum akademisi merupakan pionir dalam menghidupkan tradisi rekonsiliasi bukan menambah polusi. “Dari kaum akademis-lah, ide dan gagasan untuk perdamaian dimunculkan bukan menambah permusuhan”, ajaknya.
Sedangkan penulis buku Ahmad Sahide menambahkan bahwa, di Indonesia sendiri ketegangan Sunni dan Syi’ah sangat unik. Yangmana Indonesia mempunyai kesamaan dengan sistem yang dipakai Syi’ah, seperti pemaksuman tokoh politik atau agama. Oleh sebab itu di Indonesia, Syi’ah dipuji di satu sisi, namun dibenci di sisi lainnya. “Hal tersebut disebabkan oleh adanya gagasan yang sama di Indonesia dengan gagasan Syi’ah”, tambah alumni UMY tersebut. (syah)