Dilema Israel, Derita Gaza

November 28, 2012, oleh: Admin HI

Pertempuran delapan hari antara Israel dan Hamas, yang menewaskan sekitar 160 warga Palestina dan lima penduduk Israel, akhirnya berakhir dengan gencatan senjata, Rabu (21/11). Upaya damai tersebut sangat penting bagi warga Palestina, karena tidak saja dapat menghindari jatuhnya lebih banyak korban, tetapi sekaligus memberikan harapan untuk kembali membangun puing-puing kehidupan yang sempat runtuh.
Bagaimana menjelaskan operasi militer Israel kali ini, serta apa yang diinginkan negara Yahudi tersebut melalui palagan terbuka? Setidaknya ada tiga argumen. Pertama, sebagai bagian dari upaya melumpuhkan kekuatan anti-Israel Palestina, terutama kelompok militan yang menggunakan strategi militer seperti Hamas. Kedua, serangan bombardir ke Gaza dapat memaksa Palestina, juga negara-negara Arab, untuk duduk di meja perundingan. Ketiga, pertimbangan atas kepentingan-kepentingan politik domestik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Hamas dipandang sebagai ancaman paling serius bagi cita-cita terwujudnya Israel Raya, yang mencakup keseluruhan wilayah Israel dan Palestina. Untuk itu, memukul habis Hamas menjadi amat penting. Namun benarkah Israel berniat menghabisi Hamas?
Noam Chomsky, intelektual Amerika Serikat keturunan Yahudi, dalam bukunya Middle East Illusions: Including Peace in the Middle East? Reflections on Justice and Nationhood (2003), percaya bahwa Israel punya kekuatan untuk menang di setiap pertempuran melalui serangan-serangan ekplosif. Persenjataan Israel adalah yang paling canggih di Timur Tengah. Namun kemenangan tersebut, menurut Chomsky, juga berarti kerugian bagi Israel. Jurang kebencian rakyat Palestina akan semakin dalam, niat balas dendam pun akan kuat bersemayam. Selain itu negara-negara di Timur Tengah sepert Mesir, Suriah, Lebanon, dan Iran siap menabuh genderang perang. Oleh karenanya, Israel sadar betul bahwa upaya menghabisi Hamas sama saja membangun kehancuran sendiri.
Asumsi kedua tampak lebih masuk akal. Konflik serupa yang terjadi sebelumnya di tahun 2006 dan 2008, menunjukkan bagaimana gencatan senjata hadir pasca pertempuran yang menyakitkan. Namun menjelaskan agresi Israel dari sudut pandang ini juga terbilang absurd. Gencatan senjata justru kerap kali mentah di tangah Israel sendiri. Pasca kesepakan damai Rabu kemarin, misalnya, pernyataan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tetap memberi celah bagi dilakukannya kekerasan lanjutan. Israel akan mengambil segala langkah yang diperlukan untuk melindungi warganya.
Konteks politik domestik Israel lebih dapat menjelaskan alasan operasi militer kali ini. Kekuatan-kekuatan politik Israel terpolarisasi ke dalam ideologi konserfatif dan moderat. Partai Likud, yang saat ini berkuasa, bersama partai lainnya seperti Yisrael Beitenu, Shah, National Union, dan The Jewish Home, berada pada spektrum kanan yang lebih mengedepankan opsi militer dalam menghadapi kekuatan anti-Israel. Sementara Partai Kadima, beserta Partai Buruh, United Torah Judaism, United Arab List, dan Meretz berada di sayap kiri yang masih memberi ruang bagi negosiasi demi perdamaian.
Persoalannya adalah, rakyat Israel lebih banyak (meski tidak semua) mendukung kebijakan-kebijakan yang keras terhadap Hamas. Sehingga dalam hal ini, pilihan untuk mendapatkan dukungan publik menjadi pertaruhan, terlebih di saat-saat menjelang pemilu. Asher Arian, pengamat politik dari Haifa University, Israel, pernah berujar bahwa “partai-partai berkuasa kerap menjadikan perang sebagai propaganda untuk menangguk untung”.
Menjelang pemilu pada 22 Januari 2013 mendatang, sangat esensial bagi PM Netanyahu menujukkan konservatisme pemerintahan Partai Likud. Dukungan mayoritas publik amat dibutuhkan mengingat partai berkuasa belum sepenuhnya menguasai parlemen dengan solid, seperti yang terlihat baru-baru ini terkait soal penyusunan anggaran.
Ini pula yang bisa menjelaskan mengapa Netanyahu terang-terangan mendukung calon presiden Mitt Romney dari Partai Republik sebelum pemilu presiden AS awal November lalu. Sesuatu yang cukup berbahaya sebenarnya. Sikap Netanyahu merupakan upaya untuk menegaskan sikap politiknya bersama Partai Likud kepada publik Israel, mengingat Romney beraliran hawkish, yang lebih mengedepankan militer sebagai solusi, ketimbang Barack Obama yang dipandang terlalu lunak.
Apa yang dilakukan pemerintahan Partai Kadima di bulan Desember tahun 2008 juga bisa dilihat dari perspektif ini. Meski ideologi partai yang kala itu dipimpin Tzipi Livni berhaluan kiri-tengah, operasi militer ke Gaza tetap dilakukan bahkan dalam spektrum yang lebih mengerikan dibanding tahun 2012. Partai Kadima tampaknya berharap dapat meraup dukungan publik menjelang pemilu 10 Februari 2009.
Israel akan selalu terjebak pada dua pilihan yang sulit. Di satu sisi masih memendam cita-cita bisa hidup normal seperti bangsa-bangsa lain, yang artinya jalan negosiasi dengan Palestina musti ditempuh. Namun di sisi yang lain kepentingan politik domestik menggiring untuk diambilnya opsi-opsi konfrontatif, yang sama saja semakin mengubur upaya damai. Hal inilah yang akan terus menjadi bopeng bagi proses perdamaian dua negara.
Sayangnya, dilema yang dihadapi Israel tidak saja menjadi hambatan bagi terwujudnya perdamaian dan kehidupan yang lebih baik, tetapi sekaligus fragmen memilukan bagi rakyat Palestina, terutama yang hidup di Jalur Gaza. Rudal-rudal yang ditembakkan hanya akan menambah derita di antara puing-puing reruntuhan kota Gaza. (*)
Muhammad Faris Al-Fadhat, S.IP., MA.*
Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY, Pengamat Politik Timur Tengah