Bagaimana Kontribusi Mahasiswa dalam Menghapuskan Kekerasan terhadap Perempuan? – Wawancara bersama Idham Badruzaman, Ph.D
Sejak tahun 2000, tanggal 25 November telah ditetapkan sebagai peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap tahunnya, seluruh masyarakat dunia menjadikan hari peringatan tersebut sebagai momentum untuk mengingatkan kembali dan meningkatkan kesadaran tentang masih maraknya perilaku kekerasan yang dihadapi oleh perempuan di berbagai belahan dunia.
Isu kekerasan terhadap perempuan yang masih terus berlanjut membuat pentingnya kontribusi nyata dari berbagai elemen masyarakat untuk dapat mengatasi kekerasan dalam berbagai bentuk terhadap perempuan, termasuk peran dari mahasiswa. Pada kesempatan ini, Bapak Idham Badruzaman akan berbagi pengetahuan tentang Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan pentingnya peran mahasiswa dalam memaknai Peringatan hari tersebut.
Pentingnya Meningkatkan Kesadaran dan Tindakan Preventif
Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan selalu menjadi penting, karena sejauh ini kekerasan terhadap perempuan masih relatif banyak di berbagai tempat dan peringatan itu menjadi reminder bagi semua stakeholder untuk dapat kembali melihat aksi, keputusan kebijakan, atau apapun yang dianggap perlu untuk menunjang penghilangan atau eliminasi kekerasan terhadap perempuan. Oleh karenanya, hal pertama yang dapat diharapkan dari peringatan tersebut adalah awareness atau kesadaran.
Seringkali ketika kita melakukan aksi sifatnya cenderung reaktif, atau melakukan sesuatu ketika hal lain atau pemicunya terjadi dan tidak berupaya untuk melakukan tindakan preventif. Tindakan ini dihasilkan dari adanya awareness tersebut, jadi tidak selalu muncul ketika sesuatu atau kekerasan itu terjadi. Karena angka kekerasan terhadap perempuan masih relatif tinggi, maka tentu butuh adanya tindakan-tindakan yang menunjang antisipasi terhadap kekerasan terhadap perempuan. Oleh karenanya, peringatan ini dibutuhkan untuk kembali mengingatkan semua pihak untuk kembali memberikan perhatian terhadap pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Aksi paling minimal yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan kesadaran, kemudian berlanjut kepada tindakan-tindakan yang preventif.
“Kebijakan maupun tindakan yang telah dilakukan di UMY, misalnya, saya rasa sudah sangat bagus. Tindakan preventif terus dilakukan dari tingkat yang paling rendah sampai pada tingkat yang paling tinggi di lingkungan kampus. Seluruh pihak yang berada di UMY telah melakukan aksi serta memberikan kebijakan agar kejadian kekerasan terhadap perempuan tidak terjadi.”
Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Menjadi Isu Domestik dan Global
Upaya pencegahan yang dilakukan oleh semua pihak, misalnya dari Indonesia, sebenarnya telah banyak diimplementasikan. Saat ini, telah banyak muncul aktivis-aktivis perempuan pada tingkat masyarakat dan pada pemerintahan, ada beberapa policy yang di antaranya adalah porsi perempuan yang khusus diberikan di tingkat-tingkat parlemen, kantor, pemerintahan itu diberlakukan. Bagi laki-laki, tentu tidak boleh merasa tidak diuntungkan terhadap porsi khusus yang diberikan kepada perempuan tersebut. Karena kalau tidak diberikan secara khusus, perempuan tidak akan mungkin bisa mendapatkan representasi yang cukup di beberapa tingkat karena banyak hal tadi, misalnya faktor sejarah yang sudah lama membuat pemerintahan yang patriarki. Selain itu juga, masyarakat atau society yang patriarki itu juga sudah terbentuk sejak lama, sehingga untuk mengubah itu memang perlu ekstra usaha, agar sedikit demi sedikit dapat mengubah sistem patriarki.
Di beberapa negara lainnya, terdapat fenomena dimana ketika aktivis feminis mulai bermunculan, ada juga kelompok yang meng-counter itu, yakni kelompok anti-feminis. Jadi ada aktivis yang anti-feminis karena ada gerakan aktivis feminis itu sendiri. Analisisnya bisa jadi karena gerakan feminisme yang berlebihan sehingga muncul reaksi yang kontra dari anti-feminis itu sendiri. Kalau dilihat secara sederhana, bisa jadi pemahamannya atau perspektifnya yang berbeda.
“Karena sistem patriarki yang begitu kuat di masyarakat, maka kelompok-kelompok anti-feminis ini mencoba untuk menggagalkan itu. Mereka tidak menerima value yang dimiliki gerakan feminis tersebut. Kita bisa lihat dari kondisi dan situasi daerah di Indonesia yang berbeda-beda, ada yang sistem patriarkinya sudah sangat mendarah daging, tapi ada juga yang sistem patriarkinya sudah moderat karena fenomena ‘melting pot’ atau banyaknya pendatang dan orang yang pergi ke luar negeri dengan melihat situasi di luar negeri. Jadi, di tingkat nasional dan global kita bisa melihat signifikansi peningkatan awareness dari masing-masing orang. Meski demikian, tantangannya juga semakin besar dan tidak mudah untuk mengubah hal tersebut dalam kurun waktu yang singkat.”
Pendidikan Sebagai Sarana bagi Mahasiswa dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Lingkungan kampus terus memperkuat pendidikannya, karena pendidikan itu sendiri menjadi kunci serta jalan signifikan, baik bagi perempuan (untuk tidak mendapatkan kekerasan) ataupun bagi laki-laki (untuk tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan). Pendidikan kemudian dapat mengangkat harkat derajat manusia termasuk perempuan, oleh karenanya laki-laki kemudian akan berpikir beberapa kali untuk bisa melakukan kekerasan terhadap perempuan yang memiliki harkat dan derajat tinggi.
Kemudian hal berikutnya tentu mahasiswa dapat ikut menyuarakan kampanye yang bersifat langsung maupun bersifat tidak langsung. Secara langsung, misalnya mahasiswa dapat langsung menempati posisi tertentu, jadi perempuan bisa juga ikut menempati posisi tertentu dalam setiap kesempatan, seperti posisi kepemimpinan di organisasi mahasiswa, sehingga dapat mendorong terciptanya persamaan atau equality antara perempuan dan laki-laki yang kemudian muaranya adalah menghilangkan sistem patriarki dan itu tentu akan menunjang eliminasi kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, mahasiswa juga dapat berkontribusi untuk dapat mengingatkan satu sama lain dan mengkampanyekan awareness kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak dini hingga nantinya memiliki bekal dan dapat masuk ke dalam dunia kerja. Mengapa ini penting, karena ini akan menjadi basis mereka ketika memutuskan untuk melanjutkan kontribusi di sektor pekerjaannya masing-masing setelah selesai kuliah nanti.
Dalam teori perdamaian, ada yang disebut dengan “structural violence” yang artinya struktur sosial atau aturan-aturan sosial yang ada di institusi ataupun masyarakat yang dapat menyakiti pihak-pihak tertentu dan tentu biasanya perempuan ini menjadi kelompok yang vulnerable atau kelompok yang mudah untuk untuk mendapatkan perlakuan yang tidak baik ini, maka misi dari mahasiswa maupun aktivis lainnya yang sudah berada di dunia kerja adalah untuk dapat menghilangkan structural violence dan tidak hanya kepada perempuan sebenarnya, tetapi kepada semua. Jadi, aturan-aturan sosial yang merugikan satu pihak tertentu itu harusnya dihilangkan. Sebagai contoh, misalnya ketika terjadi kekerasan seksual, sering kali pada beberapa kasus, perempuan dianggap menjadi pelaku atau sebab terjadinya kekerasan seksual tersebut, entah karena katanya pakaiannya terlalu minim dan lain sebagainya.
“Perihal kekerasan perempuan masih tidak bisa dilepaskan dari perspektif yang patriarkal, sehingga kemudian perempuan masih menjadi “yang disalahkan” dan ini juga bagian dari structural violence. Ketika hal itu terjadi, perempuan tidak bisa bersuara dan yang pertama kali bersuara adalah laki-laki, kemudian menyampaikan hal tersebut terjadi karena perempuannya yang genit, memakai baju yang ketat, sehingga memancing laki-laki untuk melakukan kekerasan seksual tersebut dan celakanya perkataan tadi kemudian diamini oleh semua pihak. Hal inilah yang kemudian masih menjadi tugas besar bagi kita semua untuk bisa menghilangkan eliminasi kekerasan terhadap perempuan yang disadari ataupun tidak.”
Penulis: Ahmad Mujaddid Fachrurreza