FPCI UMY Fasilitasi Dialog Damai terkait Isu Kekerasan Masyarakat Sipil Papua
Yogyakarta (2/4) – Aksi kekerasan yang terus terjadi di wilayah Papua dalam beberapa tahun terakhir menjadi fenomena yang menarik perhatian masyarakat serta menimbulkan pertanyaan terkait upaya penyelesaian apa yang seharusnya dilakukan dalam mengakhiri permasalahan tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi fokus utama bagi Foreign Policy Community of Indonesia Chapter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FPCI UMY) dalam mengadakan wadah diskusi terkait dengan peningkatan kekerasan terhadap masyarakat sipil yang terjadi di Papua. Webinar Special Peace Dialogue (SEPEDA) ini mengangkat tema “Escalating Violence in Papua: Civilians in Cross-fire” dan menghadirkan berbagai pembicara yang ahli di bidangnya.
Pada sesi pertama dan kedua kegiatan webinar ini dibuka oleh pemaparan materi dari Gabriel Lele selaku Gugus Tugas Papua di Universitas Gadjah Mada dan Aisha Rasyidila Kusumasomantri yang merupakan Dosen dan Peneliti di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Dalam presentasinya, Gabriel Lele menjelaskan bahwa hingga Januari 2022 total kasus kekerasan yang terjadi di Papua mencapai 348 kasus, dimana kasus terbanyak terjadi pada tahun 2021 yang didominasi oleh aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Menurut Gabriel, upaya yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengetahui akar permasalahan dari sudut pandang ideologis. Terlepas dari perbedaan kelompok tersebut, pemerintah harus mendekat aspek developmentalis dengan cara membuka ruang dialog dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Senada dengan penjelasan Gabriel, Aisha mengatakan bahwa solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini masih terus memunculkan permasalahan baru karena sifatnya tidak permanen. Misalnya pada pendekatan kelompok insurgence, ada dua kelompok yang terbagi yaitu warga papua dan non-papua dimana keduanya adalah kelompok yang sangat berbeda. “Mengadakan dialog merupakan solusi yang tepat, kendati demikian hal ini masih menjadi tantangan karena perbedaan kontras dari latar belakang masing-masing aktor” lanjut Aisha.
Pada sesi berikutnya, Adriana Elisabeth (Dosen Pascasarjana Universitas Pelita Harapan) dan John Norotouw (Mantan Aktivis Organisasi Papua Merdeka) menggunakan pendekatan historis terkait peristiwa kekerasan yang terjadi di wilayah Papua. Adriana menjelaskan kronologi konflik bersenjata tahun 2018 di pegunungan tengah Papua terjadi dengan tuntutan agar freeport ditutup. Menurutnya, terdapat beberapa sumber kekerasan dari kasus kekerasan di Papua, namun yang utama adalah aksi saling menyerang antara KKB serta Kelompok Separatis Teroris (KST) dengan TNI/Polri setempat. Sementara John Norotouw menegaskan bahwa konflik di papua sangat mudah dilihat dengan kasat mata, mulai dari kekerasan, perang, hingga pelanggaran HAM. Hal yang menjadi penting untuk dibahas yaitu bagaimana peran penting pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan di Papua. “Selama ini, konflik yang terjadi di Papua masih mendapat minim perhatian dari pemerintah khususnya didaerah selaku pemangku kepentingan dan memiliki ownership atas tanah Papua itu sendiri” ungkap John.
Penulis: Ahmad Mujaddid Fachrurreza