Demokrasi versus Kedaulatan di Kawasan Asia Tenggara
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta kembali mengadakan kuliah umum bagi mahasiswa HI UMY mengenai isu hangat seputar organisasi internasional yaitu ASEAN. Seminar yang diadakan pada tanggal 9 Desember 2008, pukul 09.00 WIB di Gedung A.R. Fachruddin A mengambil tema “Walking a Tightrope; Democracy versus Sovereignty in ASEAN’s Liberal Peace”, dimana bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar. Kuliah umum ini menghadirkan Erik Martinez Kuhonta yang merupakan asisten profesor di Fakultas Ilmu Politik Mc Gill Univerity, Kanada.
Kuliah tersebut dihadiri oleh mahasiswa, dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, ibu Grace Lestariana. Pada pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa antusiasme mahasiswa HI terhadap kuliah umum ini sangat besar yang dibuktikan melalui pernyataan maupun pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa pada sesi tanya jawab. Hasilnya, perkuliahan tersebut dapat berjalan dengan baik atas kerjasama dan antusiasme mahasiswa dalam mengikuti jalannya perkuliahan.
Erik Martinez Kuhonta membuka perkuliahan dengan menjelaskan sebuah isu hangat yang berpengaruh pada kinerja dan sistem ASEAN (Association of South East Asian Nation). Isu penting yang muncul dalam tubuh ASEAN saat ini adalah peran serta anggota ASEAN dalam menghadapi konflik di Myanmar. Fakta yang terjadi sekarang adalah tidak adanya usaha intervensi ASEAN dalam pemecahan masalah konflik di Myanmar, dimana masyarakatnya menjadi korban. Dalam hal ini ia melihat bahwa konflik tersebut adalah peristiwa khusus yang membutuhkan intervensi ASEAN untuk turut memecahkan masalah tersebut, sebab telah terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Di lain sisi, ia menyatakan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara masih menerapkan politik non-intervensi terhadap masalah anggotanya. Menurut Erik, ASEAN selama ini dikenal sebagai organisasi regional yang mengusahakan perdamaian melalui non-intervensi terhadap masalah anggotanya. Non-intervensi kemudian dianggap sebagai ide fundamental yang menjadi dasar bagi ASEAN untuk tetap bersikukuh tidak turut campur tangan dalam konflik yang terjadi pada salah satu anggotanya, seperti Myanmar.
Oleh karena itu masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan sebab di satu sisi, urgensi intervensi ASEAN dibutuhkan dalam pemecahan konflik di Myanmar dan di lain sisi, ASEAN bersikukuh untuk tidak turut campur dalam masalah itu agar dapat menjaga keutuhan perdamaian antar-anggotanya melalui politik non-intervensi.
Pada Kesempatan tersebut, Erik juga menjelaskan ada beberapa hal penting yang perlu dianalisis lebih jauh mengenai permasalahan di atas, yaitu latar belakang ASEAN, urgensi demokratisasi dalam tubuh ASEAN dan masa depan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Ketiga pokok bahasan di atas menjadi wacana penting yang ia bicarakan dalam kuliah umum tersebut.
Permasalahan pertama yang dikemukakan oleh Erik Martinez Kuhonta adalah latar belakang ASEAN. Erik menyatakan bahwa pendirian ASEAN didasari pada visi Michael Doyle tentang keamanan demokrasi liberal dan ide komunitas keamanan pluralis oleh Karl Deutsch (Deutsch 1961, 1968; Doyle 1986). Namun implementasi dalam tubuh ASEAN bertentangan dengan ide awal pembentukan,” …, however, sharply contradicts the liberal vision for securing peace articulated by Doyle and Deutsch”, tulisnya. Selama ini ASEAN justru menerapkan sistem non-liberal dalam usahanya menjaga perdamaian antar-anggotanya. Hal ini berdasarkan pada pandangan ASEAN terhadap pentingnya stabilitas politik, keamanan rezim pemerintahan dan kedaulatan sebagai fondasi dalam menjaga perdamaian antar-negara anggota.
Pandangan ini kemudian menjadi dasar politik non-intervensi yang selama ini dipertahankan oleh ASEAN. Akan tetapi konflik di Myanmar memberikan tantangan besar bagi ASEAN untuk kembali menelaah sistem yang selama ini digunakan. Erik menjelaskan, dalam hal ini seharusnya ASEAN lebih jeli melihat permasalahan yang ada untuk segera dipecahkan, karena hal ini berhubungan dengan masa depan perdamaian di kawasan ASEAN. Ia juga berpendapat bahwa proses intervensi yang berarti turut campur untuk mencari solusi bagi permasalahan Myanmar lebih utama, sebab pelanggaran hak-hak asasi manusia lebih penting dari sekedar implementasi politik non-intervensi.
Permasalahan kedua yang disampaikan Erik adalah mengenai urgensi demokratisasi dalam tubuh ASEAN. Demokratisasi yang dimaksud adalah dengan memberikan ruang dalam pemberian dukungan konstruktif terhadap masalah negara-negara anggotanya, dalam konteks ini adalah Myanmar. Selama ini ASEAN menerapkan politik non-intervensi sebagai bentuk penghargaan terhadap kedaulatan negara anggotanya sehingga berbentuk dukungan bagi sebuah rezim.
Situasi Myanmar sekarang yang dikuasai oleh junta militer adalah kesalahan besar karena pelanggaran hak-hak asasi manusia tetap terjadi. Persepsi dunia internasional terhadap junta militer Myanmar sebagai aktor utama pelanggaran hak-hak asasi manusia telah terbukti dengan adanya fakta-fakta konkret dari media, jadi dapat dikatakan bahwa rezim yang berkuasa di Myanmar tidak dapat melindungi hak-hak warga negaranya dan melanggar ketentuan sebuah negara untuk melindungi warganya. Berdasarkan hal tersebut, maka posisi ASEAN yang menerapkan politik non-intervensi bagi anggotanya dilihat sebagai organisasi pendukung junta militer sebagai penguasa rezim di Myanmar.
Erik melihat keadaan ini menjadi bertolak belakang dengan tujuan ASEAN untuk menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Prinsip non-intervensi ASEAN telah melindungi rezim yang ada,”…ASEAN’s non intervention interference principle has always been meant to protect governing regimes- whether democratic or authoritarian”, ujarnya.
Oleh sebab itu, Erik menyatakan bahwa demokratisasi perlu diterapkan dalam tubuh ASEAN sebagai sebuah solusi terhadap permasalahan yang terjadi. Ia percaya bahwa hal ini tidak akan mengganggu hal fundamental yang sudah ada mengenai penghargaan terhadap kedaulatan sebuah Negara. Proses demokratisasi memungkinkan anggota ASEAN untuk mengkaji lebih jauh mengenai permasalahan yang ada serta memberikan solusi tepat. Sesuai dengan yang terjadi di Myanmar saat ini, sesungguhnya perwujudan hak asasi manusia di Myanmar menjadi lebih penting daripada berdiam diri dan kukuh untuk tidak bertindak sebab intervensi yang dilakukan adalah bentuk usaha menjaga perdamaian. Pada akhirnya ASEAN sebagai organisasi dapat menjadi lebih seimbang untuk melihat kepentingan dan dampak dari sebuah masalah yang ada melalui proses demokratisasi.
Permasalahan terakhir adalah mengenai masa depan perdamaian di kawasan Asia Tenggara yang tidak dapat dilepaskan dari peran serta ASEAN. Sistem politik non-intervensi yang dianut sebenarnya tidak dapat dikatakan gagal secara keseluruhan, hal ini didasarkan pada prestasi ASEAN sebagai organisasi regional. Organisasi ini telah menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang memiliki tingkat stabilitas dan perdamaian terbaik dibandingkan kawasan lain yang merupakan negara berkembang. Meskipun begitu, ASEAN tetap harus melihat realita lain yang ada pada kawasannya seperti contoh Myanmar.
Dalam hal ini ASEAN seharusnya tidak bersikap tertutup, maksudnya dalam hal ini adalah menjunjung tinggi nilai non-intervensi sehingga mengabaikan nilai-nilai lain yang menjadi bagian dari ide perdamaian seperti hak asasi manusia. ASEAN harus lebih demokratis dalam menghadapi permasalahan yang muncul agar dapat mencapai tujuan utamanya menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Demokratisasi sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan proses non-intervensi sebagai ide umum sebuah kedaulatan dengan kepentingan lain, seperti hak asasi manusia yang merupakan bagian dari tujuan utama ASEAN demi menciptakan perdamaian, dengan begitu ASEAN dapat lebih bijak memilih dan memprioritaskan kepentingan demi terwujudnya stabilitas dan perdamaian. Sedangkan pada prakteknya, Erik menyatakan bahwa memang cukup sulit untuk menindak-lanjuti masalah antara demokratisasi dan kedaulatan (non-intervensi).
Namun, realita yang terjadi akan selalu memaksa adanya perubahan demi kemajuan ASEAN di masa depan. “ASEAN is forced to confront a structural reality that severely limits its room for maneuver. ASEAN wish to signal to the international community that it is open to political reform, but weight of its own history- a history of peace and security- constrains its reach” tulis Erik dalam jurnalnya.
sumber:
http://komahi.umy.ac.id/2010/12/demokrasi-vs-kedaulatan-di-kawasan.html