Sepakbola dan Fantasi Globalisasi

Desember 17, 2012, oleh: Admin HI

“….football is the open-air kingdom of human loyalty…”
Antonio Gramci
Gramci mungkin berlebihan saat mengatakan sepakbola sebagai sebuah kerajaan dimana loyalitas manusia terbentuk. Tapi dunia segera melihat, sepakbola kemudian mengubah dirinya lebih dari sekedar sebuah olahraga kaum buruh pelabuhan di pinggiran pantai Inggris Raya. Bahkan di kemudian hari, sofistikasi dan partisipasi dari dunia industri semakin menjadikan sepakbola melampaui pemunculannya yang semula hanya menjadi medium kanalisasi bagi buruh pelabuhan yang lelah bekerja.
Para bintang yang kemudian lahir dari institusi sepakbola utama di Eropa bahkan menjadi kaum selebritis dunia. Beberapa nama bahkan dipercaya memiliki kharisma dan dianggap bisa memberi kontribusi penting bagi “penyelamatan” dunia. Seperti kiprah Bono – vokalis group U2 – yang menjadi individu penting dalam proyek kemanusiaan dunia, para bintang sepakbola juga kerap menjadi medium kampanye bagi sejumlah intitusi internasional seperti UNICEF, UNESCO dan PBB untuk peran-peran voluntaristik.
Klub Barcelona bahkan bekerjasama dengan UNICEF – dan sejauh ini menjadi satu-satunya klub papan atas dunia – yang mencantumkan logo badan PBB itu di kostum mereka ketika klub kaya lainnya bekerjasama dengan berbagai perusahaan raksasa internasional.
Lionel Messi, bintang Barcelona, menjadi duta khusus UNICEF yang kehadirannya di Haiti lebih bernilai ketimbang pejabat tinggi negara. Ada kombinasi yang menarik dan kadang juga tumpang tindih di sini: sejumlah institusi dan aktor berada dalam satu tubuh pemain yang dibanggakan oleh negara mereka masing-masing, namun di waktu yang lain ia segera berubah menjadi representasi sebuah klub dari negara yang menjadi rival negara si pemain. Sepakbola adalah dunia main-main yang amat serius!
Barangkali sepakbola dan olahraga pada umumnya menjadi ruang global yang tersisa bagi interaksi secara mutual antara negara maju dan negara berkembang. Sejumlah 32 negara yang tampil dalam Piala Dunia 2010 yang lalu di Afrika Selatan menyajikan kontestasi ekonomi-politik yang beragam.
Tampilnya Korea Utara menjadi satu-satunya wakil dari sebuah negara yang boleh jadi amat anakronis dari sisi ideologi. Inilah negeri satu-satunya yang bermazhab komunis di antara peserta. Dalam logika politik internasional, Korea Utara adalah rezim yang mengalami eksklusi dari politik dunia yang memuja kapitalisme dan demokrasi.
Tetapi sepakbola dan perhelatan Piala Dunia masih memberi ruang bagi tampilnya ideologi non-mainstream. Pemikir kritis India, Gayatri Spivak, pernah menyeru pertanyaan “can subaltern speak?” dalam sebuah bukunya untuk menggugat identitas masyarakat pasca-kolonial yang selalu dikonstruksi oleh negara-negara kolonial (counterfeit identities).
Bagi Spivak, seluruh gagasan tentang Dunia Timur selalu mengimplikasikan kontsruksi pengetahuan dan episteme negara-negara Eropa. Gagasan ini pernah cukup lama digaungkan intelektual lain seperti Edward Said melalui Orientalism. Sepakbola memberi jawaban atas gugatan itu. Setidaknya, lewat negeri Amerika Selatan, Afrika dan beberapa negara Asia, subalternitas itu kini bisa bicara.
Lihatlah bagaimana sepakbola dunia yang terkiblat di kompetisi Liga Inggris, Italia dan Spanyol kini mulai digerakkan oleh korporasi Asia. Bahkan beberapa korporasi Asia (terutama dari Jepang, Korea Selatan dan Timur Tengah) menjadi sponsor besar klub-klub elite Eropa dalam lima musim kompetisi terakhir. Samsung, Sharp, KIA Motors, Hyundai, Emirates, LG – untuk menyebut sejumlah ikon – adalah kekuatan korporasi Asia yang ikut menggerakkan globalisasi sepakbola. Semua ini menyajikan sebuah lanskap tentang dunia produksi Asia yang bergerak menembus jazirah Eropa: sebuah medan tersulit dalam peta produksi dunia karena reputasi dan standarnya yang amat tinggi.
Dan mari kita lihat panorama dari sisi ekonomi. Meksiko, Pantai Gading, Slovakia, Ghana, Kamerun, Nigeria – untuk menyebut beberapa – bukanlah negara dengan tingkat ekonomi yang mapan di dunia. Dalam kategorisasi kalangan dependensia, mereka adalah entitas pheriphery. Ketika dalam struktur ekonomi global negara-negara pheriphery selalu menjadi korban dari neoliberalism trap. Meksiko adalah negara yang bahkan menjadi korban terbesar Washington Consensus dan terjebak dalam spiral kekerasan di tingkatan domestik. Negeri itu harus menjadi kurban kapitalisme melalui kebijakan strucutural adjusment yang intinya memberi ruang konsensus bagi institusi ekonomi global semacam Bank Dunia. Tetapi Piala Dunia dan sepakbola menjadi panggung yang menyajikan disensus ekonomi-politik.
Kaum muslim barangkali akan mengidentifikasi negara-negara berdasarkan jumlah pemeluk muslim di negara-negara peserta Piala Dunia. Mereka akan mengidolakan Ghana, Aljazair, Kamerun, Nigeria. Di dalam panggung politik dunia, posisi dunia Islam dipandang secara stereotipikal oleh Dunia Barat: sarang teroris, anti-demokrasi dan penyebar kekerasan.
Tetapi sepakbola dan Piala Dunia memberi lanskap lain dimana “dialog” antar peradaban, ketundukkan pada rule of game dari FIFA sebagai penyelenggara perhelatan, justru muncul. Sepakbola dan Piala Dunia, barangkali menjadi satu-satunya ruang yang masih tersisa untuk melihat komunikasi dan interaksi antar negara yang berbeda.
Kanalisasi dan Fantasi
Di tengah politik dunia acapkali gagal membangun dialog antar entitas, sepakbola menjadi wilayah paling ujung dalam dialog antar peradaban. Di lapangan sepakbola, tesis clash of civilization dari Samuel Huntington mungkin mendapatkan anti-tesisnya. Meski demikian, absurdidas kerap mengiringi pentas sepakbola dunia macam Piala Eropa, Piala Dunia atau Liga Champion.
Pada Piala Dunia 2010 yang lalu, sebuah fenomena menarik berlangsung di Bangladesh. Negeri ini adalah negeri yang tidak terlibat sama sekali dalam perhelatan itu. Tetapi penduduk negeri itu bisa marah dan berbuat kerusuhan ketika Dinas Kelistrikan (PLN) negeri itu tak mampu menyediakan layanan publik saat masyarakat Bangladesh ingin menonton siaran langsung televisi.
Seperti diberitaan banyak media, masyarakat Bangladesh membakar gedung PLN setempat saat pertandingan Argentina versus Nigeria tak bisa disiarkan karena listrik mati. Tak cukup hanya di situ, para mahasiswa di sebuah universitas ternama di Bangladesh terlibat dalam tawuran hebat karena berselisih tentang perlunya universitas meliburkan perkuliahan atau melaksanakan ujian akhir semesteran selama Piala Dunia berlangsung!
Panorama yang kurang lebih sama berlangsung di Indonesia. Di negeri yang penduduknya dikenal sebagai penggila sepakbola ini juga muncul kerusuhan antar warga di Maluku saat pertandingan antara Spanyol melawan Belanda. Seperti diketahui, sejumlah warga Maluku punya nostalgia ras terhadap tim Belanda karena beberapa pemain negeri itu masih memiliki hubungan darah dengan masyarakat Maluku seperti Giovani Van Bronckost dan Van Bommel. Boleh jadi juga ada romantisme politik di sana kalau kita mau merunut gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang punya hubungan historis dengan Belanda.
Bagi pengkaji hubungan internasional, barangkali harus mulai melihat sebuah dimensi di luar arena politik. Sepakbola modern menyajikan tautan yang kompleks antar institusi dan aktor, antara game dan politik, antara esoterisme para pemain-pemain kelas dunia dan kepentingan dari jejaring korporasi raksasa, antara identitas yang begitu mudah dipertukarkan oleh sebuah rezim bernama FIFA. Sepakbola, adalah sebuah ruang – mengutip Walter Benjamin – fantasmagoria dari era globalisasi saat ini: di dalamnya kita diajak berfantasi, tetapi juga dalam sistem dunia kapitalis yang dengan sempurna sedang menjalankan invisible hands. (*)
Ade Marup Wirasenjaya, S.IP., M.A.*
Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengantar Studi Globalisasi, Direktur Laboratorium Hubungan Internasional UMY