Orang Korea Banyak Belajar dari Kegagalan

April 23, 2013, oleh: Admin HI

Orang-orang Korea Selatan banyak dikenal dengan semangat rajin bekerja (budaya can do spirit). Melalui budaya ini, orang Korea  menjadikan tujuan maksimalnya sebagai landasan awal, sehingga kegagalan seringkali menyertai usaha yang dijalankan. Namun, kegagalan itu justru membawa keberhasilan, karena membuat orang Korea terus belajar dari kegagalan yang mereka alami.
Demikian hikmah yang dapat dipetik dari pernyataan Guru Besar Hankuk University of Foreign Studies, Prof. Yang Seung-Yoon, saat mengisi Kuliah Pakar bertajuk “Kunci Sukses Korea dari Konfusianisme hingga Gangnam Style” yang diadakan oleh Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY), bertempat di Ruang Simulasi Sidang HI UMY, Selasa (23/4).
Dalam kegiatan ini, Prof. Yang menjelaskan, beberapa faktor yang menjadi kunci keberhasilan Korea Selatan. Pertama, dari segi kepemimpinan politik. Sejak awal kemerdekaannya, pemimpin Korea Selatan mampu melihat masa depan bangsanya dan lebih memilih sistem pemerintahan demokrasi liberal, walaupun saat itu hampir 90% negara dunia justru banyak yang memilih ideologi sosialisme. “Terutama pada masa kepemimpinan Presiden Lee Syngman dan masa Park Chung-Hee, kedua pemimpin ini yang berkeras untuk mempertahankan keamanan dan pembangunan ekonomi Korea”, jelasnya.
Kedua, sifat orang Korea yang bersatupadu saat mengalami krisis. Krisis bagi orang korea memiliki dua makna, yakni waktu darurat dan kesempatan baru. Saat terjadi krisis, orang Korea melakukan gerakan mengumpulkan emas sehingga hanya dalam waktu 3 tahun sudah mampu membayar utangnya pada International Monetary Fund (IMF). Kemudian saat Jepang ingin menduduki Korsel, semua laki-laki di Korea bersatu menolak rokok dan mengumpulkan uang untuk membayar utang kerajaan, walaupun berakhir dengan kegagalan. “Lagi-lagi ini karena tidak ada banyak pilihan bagi orang Korea. Hidup atau mati. Berkembang maju atau monoton”, jelas mantan marinir pada perang Vietnam tersebut.
Ketiga, sikap pemilik perusahaan di Korea yang selalu ingin menyebarluaskan dan mengembangkan bisnisnya. Di Korea Utara (Korut) terdapat suatu tempat bernama Gaesung yang merupakan kompleks Industri dimana terdapat banyak perusahaan-perusahaan milik pengusaha dari Korsel. “Walaupun konflik Korsel dan Korut memanas, para pengusaha dari Korsel tetap tidak mau jauh-jauh dari perusahaannya yang berada di Korut. Karena upah pekerja di Korut jauh lebih murah, sehingga mereka hanya perlu menyediakan bahan produksi saja”, terang mantan Ketua Asosiasi Studi Islam di Korea itu.
Diakhir sesi perkuliahannya, Prof. Yang menambahkan bahwa posisi Indonesia dan Korea tidak terlalu jauh berbeda. Indonesia bahkan bisa lebih maju dari Korsel karena memiliki pasaran yang luas dan aktif, serta kaya akan sumber daya alam dan masih banyak tanah yang kosong. Walaupun upah tenaga kerja Indonesia kecil, namun masih bisa bersaing di kancah Internasional. “Dengan semangat kerja yang tinggi dan pempimpin politik yang bersih dan jujur, Indonesia tentu akan menjadi negara yang hebat dan maju”, tutupnya. (FR/fikar-ed)