Kesesatan Politik Kampanye

Desember 28, 2010, oleh: Admin HI

Parade kampanye PILPRES telah dimulai. Juru kampanye telah dipilih oleh 3 pasangan capres-cawapres, untuk bisa memperbesar perolehan suara yang diperoleh dalam Pemilu Presiden 8 Juli 2009. Juru kampanye tampaknya dijadikan mesin suara yang paling efisien bagi partai politik untuk mendapatkan durian runtuh dari Swing Voters, ataupun pemilih yang dalam PILEG kemarin tidak masuk dalam DPT ataupun yang menyengaja golput. Apakah logika akan selinier ini, atau justru berbalik arah, sehingga kurva dukungan justru menjadi kurva parabola?
Inilah pertanyaan yang sejatinya harus difahami dan disadari oleh partai politik yang mengusung pasangan Capres-cawapres, bahwa kampanye sebagai salah satu bentuk media komunikasi politik teramat rentan mengalami distorsi, baik terdistorsi akibat kesalahan sendiri atau didistorsi oleh kompetitor politiknya. Tulisan ini akan lebih menyoroti manajemen pengelolaan kampanye dalam rangka memperoleh durian runtuh swing voters namun justru malah menyesatkan bagi partai politik dan publik, sehingga akhirnya partai politik hanya mendapatkan pepesan kosong, atau bahkan penurunan suara yang diperoleh dalam pemilu sebagai bentuk hukuman dari publik.
Nalar yang menyesatkan
Kampanye politik secara terbuka di depan umum, pada hakekatnya adalah upaya untuk memperebutkan swing voters yang sampai saat ini diyakini masih mencapai bilangan sekitar 30%-40%. Angka ini sedemikian mengiurkan, sebab jika suara ini bisa diperoleh secara absolut maka partai tersebut akan mampu memenangkan pemilu 2009, bahkan bisa melenggang menjadi partai yang bisa mencalonkan kandidat Presiden. Partai besar semisal PDIP, Golkar, PPP, PKB, PKS, maupun PD tidak pernah mentargetkan perolehan di atas 40%.
Pola umum yang dipakai untuk bisa meraup suara swing voters adalah, pertama, melakukan framing partai politik menjadi partai politik yang inklusif. Logika ini memang ada benarnya, bahwa dengan memberikan baju yang longgar akan memberikan ruang yang luas untuk bisa menampung swing voters. Logika ini bisa salah manakala swing voters ternyata banyak didominasi konstituen yang membutuhkan sikap yang politik yang lugas, militan, dan bukan sikap politik abu-abu.
Jatuhnya suara PAN, di pemilu 2004 banyak disinyalir akibat pilihan politik PAN yang mengembangkan sayap menjadi partai politik inklusif, ternyata malah menyebabkan konstituen militan PAN melarikan suara ke partai politik yang membawa isu Islam eksklusif, semisal PKS, yang ketika itu masih mengusung ide-ide politik Islam yang rigid. Artinya, menframing suatu partai menjadi partai iknlusif tidak serta merta membuat batu pendulum swing voters akan memberfihak kepada partai tersebut, namun justru menjadi batu distorsi bagi penurunan suara partai politik dalam Pemilu.
Kedua, membangun logika partai politik sebagai partai anak muda yang progresif dan revolusioner. Nalar ini dibangun oleh asumsi bahwa swing voters berasal suara anak muda. Dengan mencitrakan diri sebagai partai anak muda, maka akan berkorelasi positif dengan perolehan yang akan diterima. Nalar ini juga terkadang bisa menyesatkan, semisal PRD di pemilu 1999 senantiasa mengidentikan sebagai partai anak muda, dan mahasiswa progressif. Namun ternyata PRD justru tidak mendapatkan suara karena sifat progresif dan revolusioner justru dianggap sebagai bagian dari masalah bangsa Indonesia dan bukan sebagai solusi krisis politik dan ekonomi di masyarakat.
Ketiga, membangun citra sebagai partai politik yang pro kepada wong “cilik”, yang didasarkan asumsi adalah sebagian besar penduduk Indonesia adalah “wong cilik”. PDIP memang pernah menggunakan icon sebagai “partai wong cilik di pemilu” 1999, dan ternyata sukses. Namun, icon PDIP sebagai partainya “wong cilik” dalam pemilu 2004 justru tidak efektif, sehingga justru Golkar yang leading dalam Pemilu 2004 yang tidak menggunakan icon wong cilik.
Bahkan PDIP harus juga menelan pil kekalahan tatkala berkoalisi dengan Golkar dalam koalisi kebangsaan untuk mendapatkan kursi kepresidenan, kalah dengan koalisi kerakyatan yang dipelopori oleh Demokrat, PKS, PBB, PAN dan PKB. Kesesatan logika ini menjadi buah simalakama bagi partai politik yang membawa icon “wong cilik”, secara terus menerus justru dimaknai oleh publik sebagai bentuk politisasi partai politik kepada wong cilik, dan ketidakmampuan partai tersebut untuk mentransformasi “wong cilik” menjadi “wong besar”, “wong yang berdaya”.
Keempat, membangun citra bahwa partai tersebut pro “kesejahteraan”. Isu kesejahteraan sekarang ini diyakini sebagai isu pilihan strategis dari partai politik, karena diyakini akan diminati oleh rakyat sebagai jawaban atas berbagai masalah kemiskinan, ketergantungan, dan ketidakberdayaan politik maupun ekonomi bangsa. Apakah ini efektif? Tampaknya ruang terjadinya kesesatan logika dalam ruang kampanye juga amat besar.
Konsepsi sejahtera memang sebuah konsep yang berbau surgawi dan menarik, namun partai yang mengusung konsep sejahtera dalam atribut partai seperti PKS maupun PDS tidak mendapat suara yang signifikan. PKS mendapatkan suara signifikan dalam pemilu 2004 bukanlah semata karena mengusung konsep sejahtera. PKS mendapatkan suara signifikan di perkotaan karena memiliki jaringan intelektual muda dan aktivis dakwah kampus.
Konsepsi tentang kesejahteraan akan menjadi bermakna dan memiliki pengaruh terhadap perilaku memilih publik, manakala partai politik memiliki konsepsi tentang kesejahteraan secara spesifik, unik dan bagaimana strategi dan kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut diimplementasikan. Kemenangan Obama dalam Pilpres di AS, sangat ditentukan oleh konsepsi pengentasan krisis ekonomi yang terukur dan terarah. Bagaimana dengan kampanye kesejahteraan partai politik dalam iklan? masih sebatas jargon yang ambigu, sehingga agak bisa dipastikan isu kesejahteraan yang diusung oleh partai hanya akan menyesatkan jika tidak diikuti dengan konsepsi dan implementasi yang jelas.
Kelima, nalar sembako murah juga memiliki ruang kesesatan yang cukup tinggi. Banyak partai politik mengusung nilai sembako murah sebagai antitesis terhadap melojaknya harga sembako saat ini. Pada dataran awal, nalar sembako murah sangatlah menarik, dan sangat pro poor. Apakah demikian halnya? Ternyata tidak mudah mencerna sembako murah, karena teramat mudah untuk diplintir oleh lawan politik. JK pernah melontarkan sinisme kepada PDIP setelah PDIP menawarkan konsepsi sembako murah dengan mengambil ikon petani. Sampai kemudian JK melakukan statemen jangan memilih partai politik yang membuat petani jadi miskin. Oleh JK ketika itu, sembako murah dianggap linier dengan pemiskinan kaum tani.
Lebih rumit lagi, jika issue sembako murah dilacak dari cara memperoleh dan pendistribusiannya. Nalar ini mudah menyesatkan karena lebih berbau angin surgawi belaka, dan tidak terukur. Apalagi cara mendapatkan sembako murah melalui proses subsidi secara berlebihan, dan tidak tertata, maka ujung-ujungnya adalah mal-praktek politik yang bisa menjerat ekonomi dan politik seperti di era Orde Baru.
Adalah penting dalam kampanye politik terbuka, para juru kampanye politik tidak menyampaikan nalar-nalar yang sepertinya menarik tetapi membuka ruang yang bisa menyesatkan, baik menyesatkan kepada partai politik sendiri sebagai komunikator pesan, sekaligus bisa menyesatkan publik sebagai komunikan. Jika publik merasa sudah disesatkan oleh partai politik, adalah menjadi hak publik untuk menghukum partai politik.


oleh Surwandono
Dosen Pengajar Statistika, Budaya Politik Islam, dan Analisa Hubungan Internasional
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY
Tulisan ini telah dimuat pada Diplomacy Magazine Edisi 1 , 2009.