Kantor OPM di Inggris: Hubungan Bilateral Indonesia-Inggris Terancam?

Mei 23, 2013, oleh: Admin HI

Hubungan bilateral merupakan hubungan kerjasama antara dua negara, baik itu kerjasama masalah politik, ekonomi, keamanan, kesehatan dan lainnya. Selama ini hubungan bilateral antara Indonesia dan Inggris terjalin cukup baik, selain itu Presiden Indonesia juga mendapat gelar kehormatan dari Ratu Inggris saat berkunjung ke negeri raja tersebut. Multi National Corporations (perusahaan internasional) asal Inggris pun cukup banyak di Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan bilateral antara Indonesia dan Inggris terjalin dengan baik.
Awal Mei tahun 2013, pemberitaan di media cukup mengganggu hubungan bilateral Indonesia dan Inggris di mata masyarakat. Kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM)  resmi berdiri di Inggris, peresmian kantor tersebut juga dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammed Abbasi. Kelompok OPM yang dipimpin oleh Benny Wenda ini telah melakukan berbagai kerjasama dengan beberapa lembaga di berbagai negara. Mengingat posisi OPM yang ingin berpisah dari Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), tentu saja akan menjadi persoalan bagi pemerintah Indonesia. Dengan adanya kantor OPM di Inggris, akankah hubungan bilateral Indonesia dan Inggris akan terancam?
Menurut Pakar kajian Globalisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hubungan Internasional UMY, Ade Marup Wirasenjaya, S.IP, M.A, hubungan bilateral antara Indonesia dan Inggris tidak akan putus. Mengingat diresmikannya kantor OPM di Inggris bukanlah persetujuan pemerintahan pusat Inggris, akan tetapi hanya bantuan dari Organisasi Internasional Non- Pemerintah (International Non-Government Organizations-red). Maka hubungan bilateral Indonesia dan Inggris tidak akan terganggu. Selain itu yang dibuka hanya kantor OPM di Inggris, bukan dukungan langsung Inggris atas OPM. Mantan Menteri Luar Negeri OPM, Nick Messet juga mengatakan bahwa OPM hanya didukung oleh organisasi non-Pemerintah, bukan oleh pemerintah pusat Inggris.
Kenapa kantor OPM ada di Inggris?
Pertama, adanya NGO di Inggirs yang membantu pergerakan OPM. Tindakan NGO tersebut tidak bisa dihambat secara langsung oleh pemerintahan Inggris, karena memang ada suatu culture dan karakter tertentu bagi NGO di Eropa atau barat tersebut. Sebagaimana karakter NGO di Barat yang bergerak bukan di negaranya, akan tetapi di negara lain dan terlepas dari campur tangan pemerintah. Namun, pemerintah hanya bisa untuk melakukan pendekatan persuasif terhadap tindakan NGO tersebut. Melihat kasus pembukaan kantor OPM di Inggris tersebut juga tidak diketahui oleh pemerintah pusat, hanya diketahui oleh Walikota Oxford.
Adapun isu yang dikemukakan oleh NGO tersebut adalah seputar state colonialism (kolonialisme negara). Yangmana NGO tersebut menganggap pemerintah Indonesia tidak terlalu peduli pada nasib rakyat Papua, bahkan mereka menganggap pemerintah Indonesia mencari keuntungan dari sumber daya alam di Papua tersebut. Sedangkan masalah kemiskinan, pendidikan dan kesehatan kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam pandangan NGO tersebut.
Dengan isu- isu itulah akhirnya NGO melakukan pembelaan pada OPM, selain itu ada isu yang beredar masalah perpindahan agama di Papua. Yaitu perpindahan dari Katolik ke agama Islam, dalam pandangan NGO itu merupakan pelanggaran HAM. Akan tetapi selama perpindahan agama itu tidak dengan paksaan, apalagi berpindah agama karena mendapatkan hidayah atau kemauan sendiri. Itu tidaklah termasuk pelanggaran HAM.
Selain itu, kebanyakan prinsip NGO, terutama di Barat sangat gencar membela kelompok yang lemah bukan yang benar. Apalagi disana ada celah tentang isu kemanusiaan, terlepas dari sebab permasalahan itu terjadi. Seperti kasus Papua, NGO memberikan pembelaan karena posisi dari OPM ini terdesak dan tergolong pada kelompok yang lemah. OPM yang mendapat rintangan dari pemerintah pusat dalam memisahkan dirinya, juga mendapat halangan dari pemerintah daerah sendiri, yaitu masyarakat Papua yang tetap ingin menjadi bagian dari NKRI.
Kedua, OPM selama ini diam- diam membangun hubungan dengan NGO di berbagai negara. Jika dilihat dari kepentingan OPM, dari dulu OPM menginginkan untuk menjadi sebuah negara yang berdaulat atau negara Papua dan berpisah dari Indonesia. Walaupun internal di Papua sendiri masih terjadi perdebatan, apakah Papua menjadi negara atau Papua tetap dalam NKRI dan memiliki otonomi yang kuat untuk mengatur daerahnya.
Karena kelompok yang ingin Papua merdeka cukup banyak, sehingga OPM dengan pelan- pelan dan diam-diam menghimpun kekuatan di berbagai negara. Sebenarnya kasus OPM yang mencari bantuan di negara lain ini, sama halnya dengan Timor Leste dahulunya. Dengan menghimpun kekuatan diluar dan bantuan dari berbagai NGO tersebut, OPM berharap dapat membantu mereka untuk terlepas dari Indonesia. Untuk mendapatkan perhatian dari berbagai NGO dan berbagai negara dunia, OPM mengangkat isu kemanusiaan dan lainnya.
Kenapa masalah OPM tidak kunjung selesai?
Melihat masalah OPM sebenarnya bukan hanya kesalahan pemerintahan pusat, selama ini pemerintah pusat sudah cukup serius dalam mengatasi masalah OPM. Akan tetapi masalah ini menjadi sulit terselesaikan karena ada kepentingan pemerintah lokal atau daerah di Papua sendiri. Sebagaimana di Papua, gerakan untuk keluar dari NKRI tidaklah didukung oleh semua rakyat Papua. Selain itu isu OPM ini nampaknya ada kaitannya juga dengan akan berlangsungnya pemilu di Papua, baik itu pemilihan kepala daerah ataupun pemerintah pusat. (syah)