Indonesia Tidak Boleh Tunduk Pada Rezim Neo-Liberal

Mei 29, 2013, oleh: Admin HI

Alasan saya menulis buku ini adalah, wujud dari kegelisahan dari tunduknya negara kita Indonesia pada rezim Neo-Liberal. Selain itu tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran pendisiplinan politik, pendisiplinan ekonomi dan menyusun suatu formulasi atau tatanan negara lebih baik lagi. Sehingga kondisi politik ataupun ekonomi di Indonesia diharapkan dapat semakin baik dan menjadikan rakyatnya sejahtera.
Hal tersebut disampaikan oleh Ade Marup Wirasenjaya, S.IP, M.A, dalam Diskusi Buku “Negara, Pasar dan Labirin Demokrasi” yang diadakan oleh Laboratorium Hubungan Internasional UMY, Rabu (29/5). Diskusi Buku yang dipandu oleh M. Faris Al-Fadhat, S.IP, M.A tersebut, dihadiri juga oleh Dr. Zuly Qodir dan Winner Agung Pribadi, S.IP, M.A sebagai pembedah buku.
Ade Marup selaku penulis buku menerangkan, dibukanya privatisasi dan dikuasainya pasar oleh asing telah menyebabkan kesenjangan ekonomi berlangsung secara luas. Sebenarnya awal mula hal ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, selanjutnya pemerintah Indonesia terjebak dalam sistem yang menjerat ini. “Yang perlu menjadi sasaran kritik menurut saya Presiden Mega, bukan Presiden SBY. Karena di zamannya Neo-Lib diberikan kebebasan untuk menguasai pasar”, terang penulis buku Negara, Pasar dan Labirin Demokrasi ini.
Ade juga menjelaskan bahwa, globalisasi tidak dapat ditolak, akan tetapi dapat di kontrol. Selain itu, globalisasi harus diikuti oleh kekuatan negara, terkhusus di Indonesia. Jika tidak diiringi kekuatan negara yang tangguh, maka akan terjadi tsunami sosial yang melanda Indonesia seperti naiknya harga BBM. Serta di Indonesia, pendalaman demokrasi belum dijalankan, jadi inilah yang disebut dengan labirin demokrasi. “Karena demokrasi belum sampai ke ujung dan berputar di suatu tempat, itulah yang saya maksud labirin demokrasi dalam buku ini”, jelas Ade Marup.
Sedangkan Winner Agung selaku pembedah buku, menerangkan penyebab terjadinya carut marut ekonomi dan demokrasi di Indonesia. Disebabkan faktor perubahan relasi (hubungan) antara negara dan pasar, yangmana negara seharusnya membentuk pasar, akan tetapi sekarang justru pasar yang menentukan politik negara. Selain itu, pemimpin politik di Indonesia cenderung anakonis dan kurang kreatif. “Karena anakonis ini juga menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Anakonis yaitu selalu menggunakan isu lama yang tidak relevan lagi untuk mengatasi masalah kekinian”, terang Pakar Ekonomi Politik UMY ini.
Pembedah buku lainnya, Zuly Qodir memberikan analogi, bahwa orang yang menulis karena ada kegelisahan dalam dirinya. Baik itu menulis lagu, puisi, cerpen dan lainnya disebabkan karena kegelisahan tersebut. “Karena ada kegelisahan akan kebobrokan politik dan ekonomi di Indonesia, maka Ade Marup menulis buku ini, jadi menulis dimulai dari kegelisahan”, katanya.
Zuly Qodir juga menjelaskan, demokrasi di Indonesia hanya sekedar perayaan lima tahun sekali (ritual elektoral). Tidak menyelesaikan masalah kesejahteraan rakyat, dan juga tingkat kemiskinan dikaburkan oleh globalisasi dan demokrasi, karena ukuran dari standar miskin adalah pendapatan 7.500 Rupiah per hari. Jika disesuaikan kebutuhan per- hari 20.000 Rupiah, maka angka kemiskinan sangat tinggi di Indonesia. Selain itu, menjamurnya pasar modern atau pusat perbelanjaan pada akhirnya menyingkirkan keberadaan pasar tradisional. “Gara- gara Indomaret, Alfamart dan lainnya, bakul- bakul rakyat babak belur”, ujar Pengamat Politik ini. (syah)