Indonesia-South Korea, a 40 years Complementary RelationIndonesia-Korea Selatan, 40 Tahun bersama Saling Mengisi

Oktober 22, 2013, oleh: Admin HI

“South Korea has an excellent feature on capital and technology. Instead, Indonesia has an abundant resources and high quality labors. This relation makes harmonization between Indonesia-South Korea complementing each other.”
It was a statement delivered by Prof. Yang Seung Yoon from University of Foreign Studies, South Korea in Public Lecture attended by students of Department of International Relations in commemorating a 40 years diplomatic relations between Indonesia-South Korea in Court Room AR Fachruddin B 5th floor (Tue, 22/10/2013).
Prof. Yang mostly talked about history, twist and turn, until current development about these two country relationships which has been started since 1966.
Historically, the role of Second World War had divided world into two blocks. It led Indonesia to put their stances towards South Korea in the first phase of independence day. Indonesia with its “independent and active” foreign policy still actually had a traumatic feeling with the colonialism-imperialism from Western. It has been proven with the “confrontation” decision taken by Soekarno government towards Malaysia due to the fact that British went to consider Indonesia as their “doll state”. “This condition leads Soekarno to be proactive to East bloc. Therefore he planned to do government axis in Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang” Prof. Yang stated.
Finally, active diplomacy conducted by South Korea to get sympathy from Indonesia found a bright side when New Order era was started. Soekarno finally put his position down as the highest leader of the state to Soeharto, an army chief who was successfully eradicating 30 September 1965 movement (G30SPKI). It bequeathed an irritating politic and economy condition of the domestic level. Prestige of Indonesia in those pro-East bloc states felt suddenly after G30SPKI was prevented.
This condition led Soeharto to take reverse way to make cooperation with Western countries in order to get the easy economic supports from overseas. “Soeharto implemented development diplomacy as the basic instrument to develop relationship with Western countries. South Korea also became the focus. There would be nothing happened if Soeharto was still in power”, he stated.
In the end of his Public Lecture, Prof. Yang Seung expected to have a long lasting relationship between Indonesia-South Korea through having economic and culture ties. “It was expected that the latest relations would be tighter, especially in term of economy due to the fact that Indonesia-South Korea economic relationship have sustained for a long time with the mutual impact. It is the good example for other states,’ he closed the session.   (diah/fikar)Korea Selatan memiliki keunggulan dalam permodalan dan teknologi. Sementara kalian (Indonesia-red) memiliki sumber daya alam melimpah dan tenaga kerja yang bermutu tinggi. Hubungan ini menciptakan harmonisasi antara Indonesia-Korea Selatan yang saling mengisi satu sama lain.
Demikian disampaikan Prof. Yang Seung-Yoon dari Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan dalam Kuliah Umum yang diikuti oleh mahasiswa Hubungan Internasional UMY dalam rangka memperingati “40 Tahun Hubungan Politik-Diplomatik antara Indonesia-Korea Selatan” di Ruang Sidang AR. Fachruddin B Lt. 5, Selasa (22/10/2013).
Prof. Yang Seung banyak menjelaskan  sejarah, lika-liku, hingga perkembangan terhangat mengenai hubungan yang dibangun sejak tahun 1966 oleh 2 pemerintahan berbeda ini.
Dirunut dari sisi historis, peran Perang Dunia II yang membagi dunia menjadi dua blok sangat menentukan sikap Indonesia terhadap Korea Selatan (Korsel) di awal-awal masa kemerdekaan dulu. Indonesia yang anggun dengan politik luar negeri “bebas aktif”, ternyata masih memiliki traumatik akan pengalaman kolonialisme-imperialisme yang mendalam dengan dunia barat. Terbukti dengan keputusan “konfrontasi” yang dilancarkan pemerintahan Soekarno waktu itu kepada Malaysia, karena hendak dijadikan negara boneka oleh Inggris, yang notabene pernah menjajah Indonesia. “Tentunya hal ini memicu Soekarno untuk lebih pro terhadap blok Timur. Sehingga ia pun merencanakan poros pemerintahan Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang”, ungkapnya.
Akhirnya, diplomasi aktif yang dilakukan Korsel untuk mendapatkan simpati Indonesia menemui titik terang saat pemerintahan orde baru dimulai. Soekarno yang menyerahkan jabatan tertingginya sebagai pemimpin negara kepada Soeharto, seorang panglima militer yang berhasil menumpas aksi Gerakan 30 September 1965 (G30SPKI), mewariskan keadaan politik dan ekonomi dalam negeri yang memprihatinkan. Wibawa Indonesia di mata negara-negara pro blok Timur runtuh sesaat setelah aksi G30SPKI berhasil ditangkal.
Keadaan ini yang memaksa Soeharo berbalik arah untuk menjalin persahabatan dengan negara-negara Barat agar bantuan ekonomi dari luar negeri dengan mudah didapatkan. “Soeharto menerapkan diplomasi pembangunan sebagai instrumen untuk membangun hubungan dengan negara-negara Barat. Mulai saat itulah Korea Selatan ikut dibidik. Sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi jika Soekarno masih berkuasa”, jelasnya.
Di akhir kuliah umumnya Prof. Yang Seung berharap bahwa hubungan Indonesia-Korea Selatan dapat terjaga melalui kerjasama ekonomi dan kebudayaan. “Harapannya kerjasama yang telah dijalin selama ini dapat semakin terjaga, utamanya dalam ekonomi. Karena kerjasama ekonomi antara Indonesia-Korea Selatan selama ini telah berjalan dengan lancar dan saling menguntungkan, hal ini merupakan contoh yang baik bagi negara-negara lain,” tutupnya. (diah/fikar)