HAM dan 'Rumah Kaca' Politik Global

Januari 10, 2011, oleh: Admin HI

Meskipun secara universal masalah HAM telah menjadi komitmen hampir semua bangsa sejak berakhirnya era kolonialisme tahun 40 dan 50-an, namun kasus-kasus pelanggaran HAM masih saja terjadi bahkan hingga kini. Deklarasi HAM oleh PBB tahun 1948 masih menjadi acuan normatif bagi penegakkan HAM setiap bangsa di dunia. Hingga kini, aktivis dan kelompok minoritas masih mengalami diskriminasi di banyak negara. Kelompok-kelompok marjinal di perkotaan seperti kaum miskin kota (urban poor) masih rentan dari tindakan represif penguasa di dunia ketiga.
Contoh pengingakaran lain adalah horor di Rwanda tahun 1994 yang menghadirkan kembali tragedi pembersihan etnis. Hanya dalam sepuluh hari, lebih dari satu juta orang terbunuh dalam pertikaian antara suku Hutu yang berkuasa dan Tutsi yang memberontak. Hampir 85 persen populasi Tutsi terbunuh dalam peristiwa itu . Kilgali Memorial Center yang dibangun untuk mengenang horor tersebut menjadi saksi bisu atas brutalitas manusia jaman modern. Di beberapa negara Afrika lainnya seperti Kongo dan Zimbabwe, hingga kini HAM masih merupakan sisi paling problematis. Sedangkan di beberapa negara Asia seperti Myanmar, Cina dan juga Indonesia, meskipun tidak lagi sporadis, namun masalah HAM belum sepenuhnya membentuk semacam new global political ethic para penguasa.
Upaya-upaya masyarakat internasional untuk mengatasai HAM masih mengalami kendala yang cukup besar. Kendala pertama berasal dari perspektif tentang HAM yang sampai saat ini masih memperlihatkan kontras antara mereka yang mendukung asas partikular dan asas universal. Pandangan pertama menyatakan bahwa “kita tidak mungkin menyuruh setiap orang untuk memakai baju yang sama”.
Artinya, mereka menolak model standar tunggal dalam pelaksanaan HAM yang dianggap terlalu western bias. Negara pendukung asas partikular ini misalnya Cina dan sejumlah negara Islam menolak upaya negara-negara Barat yang mereka anggap ingin melakukan westernisasi nilai-nilai HAM. Bagi negara-negara Timur, tradisi, agama dan nilai-nilai yang sifatnya indigen memberi nilai-nilai partikular yang acapkali gagal dipahami dunia Barat.
Sementara kaum universalis tetap keukeuh dengan argumen bahwa HAM hanya akan bisa tegak jika ia telah menjadi etika global (global ethic). Pandangan ini menuduh negeri-negeri yang menolak asas universalitas HAM sebagai negara-negara yang menggunakan nilai-nilai agama dan budaya sebagai tameng belaka untuk melanggengkan pelanggaran HAM pada level domestik. Negara-negara maju kemudian berusaha memberi pengaruh yang kuat pada berbagai lembaga internasional, baik yang berhubungan langsung dengan HAM maupun yang tidak memiliki hubungan langsung seperti lembaga ekonomi, perdagangan, lembaga pariwisata.
Maka sejak dasawarsa 80-an, kebijakan pemisahan antara ekonomi-politik dan HAM mulai ditinggalkan. Dengan kebijakan ini, penegakkan HAM dijadikan semacam syarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara penerima bantuan internasional. Begitulah misalnya kebijakan pembangunan waduk di Indonesia tidak bisa lagi sewenang-wenang memindahkan penduduk dengan paksa, membayar ganti rugi tanah tinggal dengan harga murah dan juga tidak bisa lagi menggunakan cara-cara opresif.
Selain masalah perbedaan perspektif, kendala kedua penegakkan HAM dunia adalah masih kuatnya pengaruh asas national souvereignty atau kedaulatan nasional. HAM, secara politik, dianggap merupakan urusan domestik suatu negara. Setiap campur tangan masalah HAM dianggap merupakan bentuk campur tangan atas masalah domestik. Itu sebabnya mengapa sejumlah negara di kawasan Afrika hingga kini masih menolak campur tangan pihak luar.
Kendala ketiga adalah disharmoni antaraktor dalam merepresentasikan masalah HAM. Setidaknya terdapat empat aktor penegakkan HAM di dunia: lembaga internasional, negara (state), non-govermental organistions (NGO’s), dan komunitas lokal atau korban. Tiga aktor yang disebut pertama sering mengklaim merepresentasikan korban pelanggaran HAM. Repotnya, aktor keempat – para korban – merasa tidak diwakili suaranya oleh aktor-aktor tersebut.

“Peran negara masih sangat kuat. Akan tetapi, jika kita meyakini bahwa globalisasi akan menyebarkan gagasan-gagasan demokrasi dan menumbuhkan global civil society, nampaknya HAM akan semakin berada di sebuah “rumah kaca” peradaban

Globalisasi HAM
Apakah jaman globalisasi akan mereduksi pelenggaran HAM di dunia? Sejauh ini penegakkan HAM sangat tergantung pada inisiatif otoritas politik di suatu negara. Peran negara masih sangat kuat. Akan tetapi, jika kita meyakini bahwa globalisasi akan menyebarkan gagasan-gagasan demokrasi dan menumbuhkan global civil society, nampaknya HAM akan semakin berada di sebuah “rumah kaca” peradaban.
Setiap negara tidak bisa lagi menyembunyikan pelanggaran HAM di tengah globalisasi yang menyajikan keintiman antar manusia. Bayangkan, kasus Rwanda berlangsung tahun 1994, dan bisa ditangani dan diketahui masyarakat internasional hanya beberapa tahun setelah kejadian. Bayangkan dengan kasus genosida yang melibatkan Hitler dan Yahudi , atau pembunuhan massal di Argentina ataupun Kamboja, yang baru bertahun-tahun kemudian bisa terkuak.
Globalisasi membuat dunia seperti kanopi yang bisa diteropong oleh siapa saja. Lembaga pemantau partikelir semakin banyak jumlahnya dan beranak-pinak dimana-mana. Ada Witness, sebuah NGO yang menggunakan video untuk menyebarkan pelanggaran HAM dunia, ada Freedom House yang gemar membuat peringkat pelanggaran HAM, juga Human Right Watch yang suaranya sering membuat penguasa negara ketar-ketir. Tentu saja, di internet kini tersedia “Google Earth”, yang dengan mudah bisa memberi kita citra satelit untuk melihat berbagai pelanggaran HAM di berbagai sudut dunia.

oleh Ade M. Wirasenjaya
Pemimpin Redaksi Jurnal Hubungan Internasional UMY
Tulisan ini telah dimuat pada IRN Buletin KOMAHI UMY pada Topik Utama yang diterbitkan oleh Pers Mahasiswa Edisi 21, Desember 2008.